Kamis, 05 Juni 2008

Membangun Pertanian Organik di Indonesia

Oleh Kabelan Kunia, M.Si.

Memasuki abad ke-21 banyak keluhan-keluhan masyarakat utamanya masyarakat menengah ke atas tentang berbagai penyakit seperti stroke, penyempitan pembuluh darah, pengapuran, diabetes, ginjal dan lain-lain. Hal ini disebabkan pola dan jenis makanan yang salah. Banyak sekali bahan makanan yang diolah dengan berbagai tambahan bahan kimia. Di samping itu budaya petani yang menggunakan pestisida kimia dengan frekuensi dan dosis berlebih akan menghasilkan pangan yang meracuni tubuh konsumen. Adanya logam-logam berat yang terkandung di dalam pestisida kimia akan masuk ke dalam aliran darah. Bahkan makan sayur yang dulu selalu dianggap menyehatkan, kini juga harus diwaspadai karena sayuran banyak disemprot pestisida kimia secara berlebihan.

Peluang Indonesia menjadi produsen pangan organik dunia, cukup besar. Di samping memiliki 20% lahan pertanian tropik, plasma nutfah yang sangat beragam, ketersediaan bahan organik juga cukup banyak. Namun menurut IFOAM (International Federation of Organik Agricultural Movement) Indonesia baru memanfaatkan 40.000 ha (0.09%) lahan pertaniannya untuk pertanian organik, sehingga masih diperlukan berbagai program yang saling sinergis untuk menghantarkan Indonesia sebagai salah satu negara produsen organik terkemuka.

Indonesia yang beriklim tropis, merupakan modal SDA yang luar biasa dimana aneka sayuran, buah dan tanaman pangan hingga aneka bunga dapat dibudidayakan sepanjang tahun.
Petanian Organik adalah sebuah bentuk solusi baru guna menghadapi kebuntuan yang dihadapi petani sehubungan dengan maraknya intervensi barang-barang sintetis atas dunia pertanian sekarang ini. Dapat kita saksikan, mulai dari pupuk, insektisida, perangsang tumbuh, semuanya telah dibuat dari bahan-bahan yang disintesis dari senyawa-senyawa murni (anorganik) di laboratorium.

Kita tahu di negara lain, khususnya di negara-negara Eropa, Amerika Latin, dan Ameriak Serikat pertanian organik merupakan sektor pangan yang paling cepat pertumbuhannya. Laju pertumbuhan penjualan pangan organik berkisar dari 20-25% pertahun selama dekade terakhir ini.

Selasa, 03 Juni 2008

SRI : System of Rice Intensificasion

Sistem Intensifikasi Padi ‘SRI’ (System of Rice intensificasion)
Oleh : Kabelan Kunia, M.Si.

Baru-baru ini kami telah mempelajari dan mengembangkan suatu metode penanaman padi yang mampu memberikan hasil panen yang jauh lebih tinggi dengan pemakaian bibit dan input yang lebih sedikit dari pada metode tradisional atau dengan metode yang lebih modern (pemakaian pupuk dan asupan kimiawi lain). Metode ini mengembangkan teknik manajemen yang berbeda atas tanaman, tanah, air dan nutrisi. Sistem intensifikasi padi ini telah terbukti sukses diterapkan di sejumlah Negara.

Apakah SRI itu?
SRI mengembangkan praktek pengelolaan padi yang memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih baik, terutama di zona perakaran, dibandingkan dengan teknik budidaya cara tradisional. SRI dikembangkan di Madagaskar awal tahun 1980 oleh Henri de Lauline, seorang pastor Jesuit yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana.

Tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. SRI telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka dan Bangladesh dengan hasil yang positif.

Hasil metode SRI sangat memuaskan dari segi produktivitas. Di lahan ujicoba kami di Desa Sindangsari, Ciranjang pada tanah kurang subur dimana produksi normalnya hanya 4 ton/ha, petani yang menggunakan SRI memperoleh hasil panen lebih dari 8 ton/ha. Di beberapa tempat bahkan petani memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha.

Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode varietas padi lain yang pernah ditanam. Petani tidak harus menggunakan input luar untuk memperoleh manfaat SRI. Metode ini juga bisa diterapkan untuk berbagai varietas yang biasa dipakai petani. Hanya saja, diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima metode baru dan kemauan untuk bereksperimen. Dalam SRI, tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, bukan diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Semua unsur potensi dalam tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhan mereka.

Kabelan Kunia, M.Si.

Pusat Penelitian Bioteknologi
Institut Teknologi Bandung
Gedung Aplikasi dan Integrasi Lt. 5
Jl. Ganesa 10 Bandung 40132
Telp : 022 2504987 ext. 1665
E-mail : kabelan@biotech.itb.ac.id
HP : 022 76467522

Website : http://kuniaorganic.blogspot.com

SRI : Meningkatkan Produksi Padi Nasional

Oleh Kabelan Kunia, M.Si.

Lebih dari 60% lahan sawah di pulau Jawa telah mengalami degradasi kesuburan tanah (fisika, kimia dan biologi) yang diindikasikan oleh rendahnya kandungan bahan organik (dibawah 1%). Dampak dari rendahnya kandungan bahan organik (BO) ini antara lain tanah menjadi keras dan liat sehingga sulit diolah, respon terhadap pemupukan rendah, tidak responsif terhadap unsur hara tertentu, tanah menjadi masam, penggunaan air irigasi menjadi tidak efisien serta produktivitas tanaman cenderung rendah dan semakin sulit untuk ditingkatkan. Hal ini disebabkan oleh kesuburan tanah yang semakin menurun karena cara-cara pengelolaan lahan sawah yang kurang tepat, sehingga sawah semakin tandus sementara pemberian pupuk buatan yang terus menerus, bahan organik yang berupa jerami padi tidak dikembalikan ke lahan, tetapi dibuang atau dibakar, sehingga mengakibatkan lahan sawah menjadi miskin beberapa unsur hara yang dibutuhkan tanaman serta memburuknya sifat fisik lahan.

Pemakaian pestisida misalnya yang cenderung berlebihan dan tidak terkontrol mengakibatkan; keseimbangan alam terganggu, musuh alami hama menjadi punah, sehingga hama dan penyakit tanaman semakin tumbuh dan berkembang dengan pesat, dan adanya residu pestisida pada hasil panen

Dari aspek pengelolaan air, usahatani sawah pada umumnya dilakukan dengan penggenangan secara terus menerus, di lain pihak kesediaan air semakin terbatas. Untuk itu diperlukan peningkatan efisiensi penggunaan air melalui usahatani hemat air.

Teknik budidaya padi SRI (System of Rice Intensification) adalah metoda yang sangat tepat untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut di atas. Bahkan tak kurang Bapak Presiden SBY dalam amanatnya pada panen perdana padi organik ’SRI’ di Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur Jawa Barat, 30 Juli 2007 lalu mengajak kalangan petani, perbankan, pengusaha, dan pemangku kepentingan di bidang pertanian untuk terlibat mengembangkan metode penanaman padi dengan pola intensifikasi ini secara luas. Pengembangan tanam padi dengan metode SRI, kata Presiden adalah contoh nyata mengoreksi gerakan revolusi hijau, yaitu upaya meningkatkan produksi padi yang bertumpu pada pupuk kimia. Dengan SRI, menurut presiden peningkatan produksi padi untuk mendorong peningkatan kesejahteraan petani tercapai, masalah ketahanan pangan dapat diselesaikan, tetapi caranya tanpa merusak lingkungan. Metode SRI merupakan teknologi usaha tani padi sawah ramah lingkungan, efisiensi input melalui pemberdayaan petani dan kearifan lokal.

Paling tidak ada 4 (empat) alasan utama perlunya dikembangkannya SRI menurut Menteri Pertanian Anton Apriantono, yaitu :

Pertama, sudah terbukti bahwa metoda SRI mampu menghasilkan produktivitas padi yang tinggi diatas rata-rata nasional, yang pada gilirannya akan memberikan pendapatan yang cukup tinggi bagi petani. Metoda ini diharapkan dapat memotivasi petani untuk dapat mempertahankan dan melestarikan usahatani sawahnya dari ancaman alih fungsi lahan.

Kedua, sudah terbukti bahwa metoda SRI dapat menghemat penggunaan air sampai 40 %. Ketika defisit air terjadi dimana mana yang terkadang dapat menimbulkan konflik sosial, konsep SRI menjadi solusi ampuh untuk keluar dari situasi krisis ini. Penggunaan bibit juga dapat dihemat sampai 80 %, sehingga dapat mengurangi biaya usaha tani.

Ketiga, metode SRI mampu memulihkan kesuburan lahan dan mampu memelihara keberlanjutan produktivitas lahan.

Keempat , metode SRI dikenal ramah lingkungan karena : a) Memitigasi terjadinya polusi asap akibat berkurangnya pembakaran jerami sehingga mampu menekan emisi gas CO2, b) Memitigasi emisi gas Methan yang dihasilkan oleh proses reduksi (anaerob) akibat penggenangan sawah, c) Mitigasi emisi CO2 dan Methan (CH4) akan menekan produksi GRK (Gas Rumah Kaca) yang dapat memicu pemanasan global, d) Daur ulang limbah (sampah) menjadi prinsip SRI, sehingga penumpukan sampah dapat dihindari, e) Aplikasi bahan kimia (agrochemical) sangat dibatasi, kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan akibat kontaminasi dengan bahan dan residu kimia dapat dicegah, dan f) Produk beras SRI dapat digolongkan sehat, karena tidak diproduksi dengan pupuk kimia dan pestisida sintetis.

* Penulis adalah penggiat dan praktisi pertanian padi organik 'SRI'.