Kamis, 17 Juli 2008

Tantangan baru di lokasi air limbah

Dari seorang teman aku mendapatkan sebuah lokasi yang menurutku unik, spesial dan menantang!!
Di sebuah pusat kota Bandung, di tengah-tengah padatnya perumahan penduduk di kota kembang ini, aku mendapatkan sepetak lahan sawah, yah, kira-kira 1,3 hektar milik pak Haji Aip di Binong, Kota Bandung.

Lokasi masuk dari Jl. Kiaracondong, kemudia masuk gang kecil, yaitu Jl. H. Basuki, kira-kira 2 km hamparan sawah itu kutemukan, tepatnya di depan SMP Negeri 34 bandung.
Tetangganya ada sebuah lokasi pusat kerajinan garmen. Nah, dari sini dihasilkan air limbah pencucian kain dari penduduk, kemudian dialirkan masuk ke sawah.
Dari air limbah hitam pekat dan berbau ini, padi sawah setiap hari meminumnya tanpa kuasa untuk menolaknya.

Menurut pak Wahyu, petani penggarap yang tinggal di lahan sawah mengatakan bahwa sejak 2 tahun terakhir lahan ini dijadaikan sawah yang sebelumnya berupa kolam ikan lele. "Setelah ada usaha garmen masyarakat, air sawah berubah menajdi air limbah, ikan jadi banyak yang mati. Kami mengalami banyak kerugian." Sungutnya sambil mengeluh pasrah.

Kini, setelah 3 minggu berjalan, alhamdulillah anak padi yang ditanam tunggal dan berumur muda, yaitu 10 hari telah tumbuh dengan baik. Beberapa ada yang mengalami kematian, karena cuaca yag cukup panas, sehingga beberapa daun ada yang mati. Beberapa lagi, aku amati terkena hama, berupa ulat kecil-kecil, sundep kata orang Kerawang mah. Tapi, secara keseluruhan, aku cukup optimis dengan pertumbuhannya.

Setiap minggu aku pasti datang ke lokasi sawah ini. Mengamati sekaligus memberikan instruksi untuk melakukan penyemprotan dengan pupuk organik hasil formulasiku, yaitu NUTRIGrow.

Nah, untuk pastinya, kita lihat saja hasilnya 2 bulan ke depan. Aku terus menunggu dengan gelisah dan was-was. Semoga hasilnya memuaskan, terutama untuk kesejahteraan Bapak Wahyu dan keluarga kecilnya.

SRI; Cara Seksama Menanam Padi Organik

Oleh Kabelan Kunia, MSi.

Cara seksama menanam padi dengan metode SRI, yaitu tidak menggenangi sawah dengan air, cukup dengan tanah yang macak-macak, karena menganggap padi bukanlah tanaman air. Tanah diolah dengan cara intensif dengan kedalaman pengolahan lahan mencapai 20 cm, dilakukan penambahan kompos 7-10 ton/hektar atau lebih dari setengah jumlah biomassa yang dikeluarkan dari lahan pertanian tersebut. Kompos dalam tanah mempunyai kemampuan untuk mengikat air selain mampu menyediakan ruang untuk udara, mikroorganisme, dan pertumbuhan akar. Kebutuhan air untuk cara bertani yang seksama ini hanya setengah hingga sepertiga dari cara konvensional, serta membuka peluang penerapan teknik baru penyiraman maupun pengaturan air lainnya.

Padi ditanam tunggal secara satu persatu dengan umur bibit 7-10 hari di pesemaian. Bibit padi yang masih memiliki keping biji ini ditanam dangkal dengan akar diletakkan mendatar di permukaan tanah, dimaksudkan terutama untuk mendapatkan peluang anakan yang paling banyak. Cara ini hanya memerlukan bibit padi unggul 5 - 7 kg/ha untuk jarak tanam 30 x 30 cm dibandingkan dengan cara konvensional yang bisa mencapai 30 kg/ha. Cara ini membuka peluang baru penerapan teknik penyemaian, penanaman dan penetapan jarak tanaman dengan sasaran mengembangkan sistem perakaran dan jumlah anakan yang maksimal. Jarak tanam yang renggang mengoptimalkan pertumbuhan anakan dan sangat memudahkan pekerjaan pemeliharaan tanah.

Cara seksama menanam padi dengan melakukan penyiangan lebih dari 4x dari hanya 2x pada cara konvensional. Penyiangan ini dimaksudkan bukan saja untuk menghilangkan gulma tetapi terutama untuk menjaga pasokan udara ke dalam tanah. Pengurangan 1x penyiangan dapat menurunkan produksi padi hingga 1,2-1,5 ton/ha.

Metode SRI dapat menekan gangguan hama secara sangat berarti tanpa harus menggunakan bahan kimia antihama. Banyak jenis serangga yang hidup bersama dengan tumbuhnya tanaman padi, namun mereka tidak sempat menjadi hama karena dengan cara seksama kondisi mikroklimatnya tidak memberi cukup waktu kepada serangga untuk dapat berkembangbiak secara leluasa. Serangan keong pun dapat ditekan karena tanah tidak direndam. Pada dasarnya keong hidup dan berjalan dengan mediasi air. Ketika air di sawah kurang atau tergenang, maka keong tidak leluasa mengacak-ngacak tanaman padi. Begitupula dengan tikus. Tikus memakan hewan-hewan kecil, termasuk keoang. Ketika keong tidak ada di sawah, maka tikus pun enggan ’bermain’ di sawah, karena tidak mendapatkan makanan yang cocok. Adapun batang padi diganggu oleh tikus, itu lebih kepada cara tikus untuk mengasah gigi sebelum dan sesudah memekan keong atau hewan ke cil di sawah. Jadi, tikus bukan pemakan batang padi, hanya penggerek/ batang untuk mengasah gigi.

Penanaman padi dengan metode SRI dapat meningkatkan produktivitas secara nyata, yang ditunjukkan pada ujicoba pertama di berbagai daerah (Garut, Cianjur, Tasik, Ciamis, Bekasi, Sukabumi, Bandung dan Subang) mencapai 9-12 ton/ha dari biasanya 4-6 ton/ha. Ujicoba di Garut menunjukkan peningkatan produksi secara berturutan mulai dari 9,4 ton/ha, 11 ton/ha, 14 ton/ha, hingga terakhir dapat mencapai 17,5 ton/ha. Cara SRI juga meningkatkan kualitas bulir padi, dengan penambahan produksi beras kepala, memelihara rasa yang lebih baik, dan tahan penyimpanan lebih lama.

Metode penanaman padi SRI juga memerlukan pengolahan lahan yang seksama. Penggunaan kompos dalam jumlah dan kualitas yang memadai sangat menentukan. Para petani dapat menyiapkan kompos yang diperlukan secara mandiri dengan mengefektifkan waktu luang dan sumber biomasa setempat seperti tanaman kirinyuh, batang pisang, guguran daun, dan sampah organik yang sudah terpilah bersih dari sampah non-organik. Satu hektar sawah biasanya menyisakan sekitar 8 ton jerami dan 3 ton sekam, dalam hal ini memerlukan tambahan biomassa sekitar 5-7 ton kompos. Proses pengomposan dilakukan secara aerobik dengan memberikan pengudaraan yang baik pada tumpukan rajangan bahan pembuat kompos. Tumpukan tersebut secara berkala disirami dengan campuran mikroorganisme lokal yang berasal dari buangan dapur atau dari kandang ternak setempat. Aplikasi kompos dilakukan sekali pada saat pengolahan awal tanah, dengan rujukan tidak untuk menggantikan pupuk, melainkan untuk membentuk kembali struktur tanah sehingga bisa berfungsi sebagai bioreaktor yang akan menggerakkan kembali siklus nutrisi dengan peran utama mikrorganismenya serta biota tanah lainnya.

Selamat mencoba....