Sabtu, 22 November 2008

Menyelamatkan Mikroorganisme Indonesia

Oleh KABELAN KUNIA

Indonesia merupakan salah satu negara terkaya akan plasma nutfah, termasuk mikroorganisme yang hidup dan berkembang biak di tanah nusantara nan subur. Negara yang kaya ini memiliki sekurangnya 10 ribu jenis mikroorganisme yang diperkirakan hidup secara alami dalam ekosistem yang “ramah” untuk berkembangbiak.

Mikroorganisme merupakan mahluk hidup yang mudah beranak-pinak dan berpotensi untuk menghasilkan berbagai produk bernilai ekonomis tinggi bagi manusia, misalnya antibiotik, vaksin dan enzim. Potensi ini dapat termanfaatkan manakala manusia dapat “membujuk” mikroorganisme ini guna menghasilkan apa yang diharapkan.

Berdasarkan potensi yang dimiliki mikroorganisme, menyebabkan mereka banyak diisolasi dari berbagai sumber habitat alaminya. Kemudian digali, dipelajari serta dianalisis kemampuanya untuk diaplikasikan menghasilkan produk yang bernilai guna secara ekonomis demi keberlangsungan hidup manusia.

Konservasi
Masalah konservasi mikroorganisme telah menjadi isu yang hangat berbagai belahan dunia. Kiranya perlu upaya penyelamatan mikroorganisme khususnya strain lokal agar dapat dimanfaatkan saat ini dan di masa yang akan datang. Dengan sifatnya yang menarik, unik dan potensial, mikroorganisme yang pernah digunakan pada suatu penelitian adakalanya ingin dimanfaatkan lebih lanjut untuk penelitian pengembangan berikutnya.

Upaya penyelamatan mikroorganisme lokal memerlukan peran serta berbagai pihak. Kekayaan mikroorganisme yang melimpah di samping harus dapat dimanfaatkan dalam penelitian-penelitian guna menghasilkan suatu produk yang nantinya dapat memberikan kemashalatan terbesar bagi manusia, namun kelestariannya harus dapat dijaga dan terpelihara. Apapun caranya, keberadaan mikroorganisme lokal ini senantiasa dapat terjamin, baik itu dengan memanfaatkan koleksi kultur di laboratorium-laboratorium di berbagai Perguruan Tinggi maupun di lembaga-lembaga penelitian pemerintah lainnya. Penyelamatan mikroorganisme ini dapat juga dilakukan dengan memantau kehadiran turis-turis asing yang mengadakan penelitian “illegal” di berbagai tempat di negara kita ini.

Penulis ingin mengungkapkan bahwa banyak kejadian misalnya orang asing dengan visa turis biasa yang berkunjung ke berbagai tempat di Indonesia kemudian melakukan penjelajahan untuk mendapatkan berbagai informasi dari berbagai penduduk dimana mereka berkunjung. Dengan keluguan dan kejujuran, penduduk kemudian memberikan segala informasi bermanfaat kepada mereka. Misalkan tentang manfaat suatu tumbuhan tertentu yang dapat mengobati beberapa penyakit. Kemudian turis tersebut dengan sopannya meminta dan memetik daun tumbuhan yang dimaksud kemudian dibawa ke negara asalnya. Dengan teknik kultur jaringan sangat memungkinkan selembar daun yang dibawa tadi dapat ditumbuhkan di negara asalnya, sehingga jadilah tumbuhan yang utuh. Kemudian tumbuhan tersebut diteliti dengan teknik dan alat yang super canggih. Lantas mereka mengklaim bahwa mereka menemukan obat atau apapun dari tumbuhan tersebut lalu dipatenkan.

Hal seperti ini dapat juga dilakukan dengan sumber daya mikroorganisme kita yang melimpah. Mereka dapat saja mengambil segenggam tanah dari berbagai habitat kemudian dibawa ke negaranya. Sebanyak 2 gram sampel tanah memiliki tidak kurang dari seratus jenis mikroorganisme yang tumbuh dengan baik. Dapat dibayangkan dengan segenggam tanah yang mereka pungut dari bumi kita yang kaya, mereka dengan leluasa meneliti dan memiliki koleksi mikroorganisme yang mempunyai kemampuan spesifik untuk menghasilkan produk tetentu. Lagi-lagi mereka kemudian mengklaim produk tersebut lewat paten yang merupakan senjata buat mereka untuk “menjajah” bangsa terbelakang yang ketinggalan ipteknya.

Koleksi Kultur
Mikroorganisme merupakan ‘bahan mentahnya’nya suatu produk bioteknologi. Bioteknologi sebagai ilmu yang terus berkembang senantiasa menggunakan mikroorganisme di samping tanaman dan hewan untuk menghasilkan produk yang bermanfaat atau untuk perbaikan spesies.
Kenyataan ini yang menjadikan perlunya koleksi kultur mikroorganisme. Koleksi kultur mensyaratkan penyimpanan mikroorganisme secara baik dan benar agar dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama dengan resiko terjadinya perubahan sifat dan potensi yang seminimal mungkin.

Koleksi kultur ini diharapkan dapat mengisolasi dan mengidentifikasi potensi mikroorganisme strain lokal yang dikoleksi dari berbagai habitat di seluruh Indonesia, menyimpan dan memilhara kultur mikroorganisme dalam jangka panjang serta dapat melakukan pertukaran koleksi dengan berbagai lembaga atau laboratorium koleksi baik di dalam maupun di luar negeri.

Di samping itu koleksi kultur mikroorganisme ini dapat dijadikan suatu kegiatan untuk dapat menyelamatkan mikroorganisme lokal yang sudah barang tentu merupakan upaya pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia. Kelestarian keanekaragaman mikroorganisme ini tentunya akan menjamin keberlangsungan kehidupan mikroorganisme yang tidak hanya dapat dimanfaatkan pada saat ini namun dapat menjamin kelestariannya untuk dimanfaatkan pada masa yang akan datang.

Kiranya sebagai bangsa kita tidak ingin keanekaragaman hayati termasuk keragaman mikroorganisme yang tumbuh dan berkembang dengan nyaman dalam habitatnya yang kondusif, tiba-tiba diusik lalu dicuri oleh orang asing yang tidak bertanggung jawab. Kemudian mikroorganisme tersebut diakui sebagai milik mereka yang sedikit pun tidak memberikan kemanfaatan kepada rakyat kita yang dengan ikhlasnya memberikan segalanya.

Hampir di berbagai laboratorium di banyak negara di dunia telah mempunyai koleksi kultur mikroorganisme. Kebanyakan kulturnya menyimpan mikroorganisme yang khas dan spesifik. Pertanyaannya kemudian apakah kita yang mengaku mempunyai kekayaan mikroorganisme yang melimpah dan potensial telah memiliki koleksi kultur ini? Lalu siapkah kita melakukan pertukaran kultur antar koleksi kultur dengan koleksi kultur di luar? Sanggupkah kita memelihara dan melestarikan kekayaan mikroorganisme yang kita miliki?

Berbagai pertanyaan akan terkuak menandakan kompleksnya permasalahan yang kita hadapi. Namun bilamana kita hanya terpaku kepada kendala klasik yang dihadapi tanpa berbuat sesuatu, niscaya kita akan kehilangan peluang sejalan dengan raibnya kekayaan yang kita banggakan itu. Mungkin kini saatnya kita harus berbuat. Yakinlah bahwa masalah senantiasa menghadang apapun dan bagaimanapun kondisi bangsa kita. (***)

*) Kabelan Kunia, Staf pada Biotechnology Research Center – ITB

Hama dan Insektisida Mikroba

Oleh : KABELAN KUNIA*

Artikel ini telah diterbitkan di Harian Sriwijaya Post, Minggu, 15 September 2002

HAMA merupakan salah satu faktor pembatas yang menghambat peningkatan produksi tanaman pertanian. Berbagai jenis organisme pengganggu yang dikenal sebagai hama telah banyak ditemukan di lahan pertanian. Hama pengganggu ini umumnya berupa serangga, seperti belalang, tungau, kumbang, kupu-kupu dan sebagainya.

Pada tingkat petani, pengendalian hama pengganggu ini seringkali dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis insektisida kimia yang sesuai untuk hama tertentu. Hal ini dilakukan manakala cara manual maupun cara lainnya kurang efektif mengingat serangan hama yang semakin meluas dan parah hingga dapat merugikan secara ekonomis.

Cara pemberantasan hama yang semata-mata hanya didasarkan atas penggunaan insektisida kimia apalagi dilakukan secara berlebihan, dapat menimbulkan berbagai masalah yang tidak diinginkan. Dampak yang muncul misalnya terjadinya resistensi (kekebalan) pada hama sasaran, munculnya hama-hama sekunder, merusak lingkungan bahkan lebih jauh lagi dapat menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan ekosistem. Kemungkinan juga dapat berefek tidak baik bagi kesehatan petani itu sendiri, karena terhirup atau terhisap insektisida tersebut.

Banyaknya permasalahan serta dampak negatif yang ditimbulkan terhadap penggunaan insektisida kimia, kiranya upaya terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan sistem pengendalian hama terpadu (PHT) yang melibatkan pengendalian serangga pengganggu secara kimiawi, biologis, kultur teknis dan penggunaan varietas resisten terhadap hama tertentu.

Pengendalian Biologis
Pengendalian biologis merupakan sebuah bentuk pengendalian populasi hama menggunakan organisme untuk mengurangi populasi tumbuhan atau hewan yang merugikan secara ekonomis. Pengendalian biologis merupakan salah satu aspek dari mekanisme pengendalian hama terpadu.

Pengendalian secara biologis sesungguhnya sudah terjadi secara alami yang melibatkan adanya mekanisme alam, sehingga dapat berfungsi mengembalikan keseimbangan ekosistem. Di samping aspek keseimbangan ekosistem, penerapan sistem pengendalian biologis dipandang perlu, karena apabila dibandingkan dengan pengendalian secara kimiawi mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya; biaya pemakaian relatif lebih murah, lebih spesifik, sarana pengendalian dapat dikembangkan di lapangan oleh petani dan dapat bersifat permanen.

Walaupun demikian bukan berarti pengendalian secara kimiawi tidak penting, karena dalam penerapan pengelolaan hama terpadu, di samping penerapan secara biologis dan kultur teknis, penggunaan insektisida kimiawi juga masih diperlukan secara selektif dengan mempertimbangkan waktu dan cara yang tepat.

Insektisida Mikroba
Pengendalian secara biologis dapat menggunakan berbagai organisme, misalnya parasitoid, predator maupun mikroorganisme patogen seperti jamur, bakteri bahkan virus. Banyak mikroorganisme yang telah diisolasi dari serangga hama, tapi hanya beberapa jenis yang terbukti berpotensi dapat dikembangkan sebagai insektisida potensial. Hal ini karena pertimbangan keamanan dan efektivitas dalam mengatasi serangga hama.

Dalam tulisan ini penulis sengaja ingin memaparkan mengenai insektisida mikroba yang masih jarang digunakan namun telah banyak tersedia di pasaran. Insektisida mikroba merupakan agen pengendali hama serangga yang menyebabkan penyakit dan pada akhirnya menyebabkan kematian pada serangga hama. Mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan mampu untuk bertahan lama dan membatasi populasi serangga hama untuk periode yang lama.

Keuntungan menggunakan insektisida mikroba diantaranya adalah keamanan, karena memiliki derajat spesifisitas yang tinggi. Keuntungan lainnya bahwa relatif kecil terjadinya resistensi (kekebalan) pada serangga hama, sehingga dapat digunakan pada situasi dimana insektisida kimiawi sudah tidak efektif lagi. Di samping itu insektisida mikroba dapat dengan mudah didapatkan di pasaran dan harganya relatif murah dibandingkan dengan insektisida kimia.

Walaupun spesifikasi merupakan keuntungan sebagai syarat keamanan, namun hal itu juga merupakan kerugian pada beberapa hama pertanian tertentu, karena hama serangga yang tidak terbunuh oleh insektisida mikroba ini akan terus berkembang dan suatu saat dapat menjadi hama yang potensial. Kerugian lainnya adalah beberapa insektisida mikroba lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti misalnya suhu, kelembaban dan cahaya matahari. Pengetahuan ekologi mikroba dan hama adalah penting untuk kesuksesan penggunaan insektisida mikroba di lapangan.

Di samping itu faktor keengganan petani memakai bahan biologi untuk melindungi tanamaan dari serangan hama antara lain karena keterbatasan daya kerja insektisida biologi tersebut. Insektisida biologi kerjanya spesifik, yaitu membunuh serangga jenis tertentu saja. Tidak seperti insektisida kimia yang membasmi dengan cepat, termasuk predator dan parasitoid hama yang sebenarnya bermanfaat karena berfungsi sebagai pengendali populasi hama secara alami (Kompas, 13/11/2001).

Syarat apabila akan menggunakan jasad mikroba sebagai sumber pengendalian biologis, yaitu mikroba tersebut harus mempunyai daur hidup yang panjang, mampu mempertahankan virulensinya di lapangan dan terutama tidak patogenik (berbahaya) pada manusia, tanaman, hewan dan serangga berguna lainnya.

Berbicara mengenai pengendalian biologis atau bioinsektisida, senantiasa dikaitkan dengan keberhasilan bakteri Bacillus thuringiensis atau sering disingkat Bt, sebagai “raja”nya bioinsektisida. Selama kurun waktu 30 tahun lebih Bt, bakteri dengan kemampuan sebagai insektisida yang luar biasa dalam mengendalikan hama utama dalam dunia pertanian. Sebagai bioinsektisida, Bt adalah suatu fenomena yang merupakan satu-satunya bakteri dengan penggunaan dan penyebarannya secara komersial telah berhasil luar biasa, sehingga membuatnya bagaikan monopoli mikroba dalam bisnis pengendalian hama yang bernilai ratusan juta dolar AS.

Namun baru-baru ini tim ilmuwan dari laboratorium di Universitas Wisconsin-Madison yang bekerja sama dengan ilmuwan DowElanco di Indianapolis, telah menemukan bakteri baru yang memiliki kemampuan membunuh hama tertentu. Bakteri tersebut adalah Photorhabdus luminescens, mengandung racun yang terbukti ampuh membunuh berbagai serangga mulai dari kecoa sampai kumbang penggerek buah kapas serta mampu menjadi bioinsektisida yang ampuh, aman dan tidak mengganggu lingkungan (Kompas, 1998).

Ratusan genera jamur telah dilaporkan dapat menginfeksi serangga hama, beberapa diantaranya adalah : Aspergillus, Beauveria, Cordyceps, Entomophthora, Hirsutella, Isaria, Metarrhizium, Paecilomyces, Septobasidium dan Spicaria. Bahkan beberapa jamur telah dikembangkan secara komersial sebagai insektisida mikroba adalah : Beauveria bassiana dengan nama dagang Boverin, Metharrhizium anisopliae dengan merek dagang Metaquino dan Verticillium leucanii dengan nama dagang Mycotal dan Vertalec.

Baculovirus merupakan kelompok virus yang sedang diteliti dan dikembangkan sebagai bioinsektisida untuk memberantas serangga penggerek jagung, kumbang kentang, kutu dan kumbang daun. Salah satu jenis dari Baculovirus adalah virus yang dikenal sebagai NPV (Nuclear Polyhedrosis Virus). Sebagian besar jenis virus NPV dijumpai sebagai penyebab penyakit pada larva serangga Lepidoptera, Heminoptera, Diptera dan Coleoptera. Sebagai contoh misalnya yang menyerang ulat Grayak (Pseudaletia unipunta) dan hama pada kapas (Heliothis zea). Virus lainnya dari kelompok Baculovirus ini adalah entomopox yang sedang dikembangkan untuk mengurangi laju perkembangan populasi belalang.

Penggunaan virus sebagai bioinsektisida untuk pertama kali dimulai sekitar tahun 1960-an untuk mengendalikan hama Trichoplusiani di California. Sampai saat ini penggunaan virus sebagai bioinsektisida semakin berkembang dan makin banyak virus potensial untuk dikembangkan sebagai mikroorganisme yang dapat mengendalikan populasi hama.

Pengendalian hama dengan menggunakan musuh alami eksotik, atau musuh alami yang didatangkan dari luar, seringkali menimbulkan masalah tertentu. Permasalahan yang terjadi misalnya, musuh alami tersebut kurang adaptif terhadap lingkungannya yang baru atau belum tentu cocok dengan inang (hama) yang ada, sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat mengendalikan hama di lapangan.

Oleh karenanya upaya pencarian strain-strain baru mikroba entomopatogen lokal perlu dilakukan untuk dapat meningkatkan pengendalian serangga hama secara biologis sebagai alternatif pengganti insektisida kimia.

*) Kabelan Kunia, M.Si., Staf pada Biotechnology Research Center -ITB