Pagi ini aku bertemu lagi dengan seorang petani di pinggir Jl. Golf, Ujungberung Bandung. Sebenarya setiap pagi aku melewati jalan ini untuk mengantar istri yang kebetulan kerja di daerah sana. Selama ini aku kurang mengawasi kalau ada dua orang yang sering mencangkul di lahan kosong yang sebenarnya adalah lahan perumahan yang belum dibangun.
Entah mengapa pagi itu setelah selesai mengantar istri ke kantornya, aku menyempatkan diri ngobrol dengan salah satu dari mereka yang kebetulan sedang menanam biji kangkung darat.
Kami berkenalan. Nama petani ini adalah Unyil. Aku tidak tahu apakah ini nama sebenarnya atau hanya julukan, karena aku amati sosok beliau yang 'berukuran' kecil. Barangkali karena ukuran tubuhnya yang 'mungil', maka namanya dipanggil Unyil.
Tapi jauh dari itu aku sangat kagum dengan beliau. Di jaman serba instan dan gampangan, dimana banyak sekali pemuda yang enggan terjun ke sawah atau ladang untuk menjadi petani, tapi aku melihat kegigihan dan semangat beliau untuk menggarap tanah sepetak, yang menurutku tidak sepadan dengan hasil yang didapatkannya ketika panen tiba.
Di dalam tas aku membawa sampel pupuk organik serbuk hasil racikanku. AKu beri beliau 3 bungkus untuk dicobakan di kebunnya. Beliau tampaknya senang untuk mencoba pupuk pemberianku. Kulihat di kebun garapannya, di samping kangkung darat yang ditanam, juga ada kacang tanah. Aku menyarankan untuk menggunakan pupuk yang aku beri secara rutin. Nanti kalau sampel pertama sudah habis, Kujanjikan untuk memberikan beliau kembali sampai tanamannya panen.
Ok, Pak Unyil semoga berhasil ya. Aku salut untuk beliau....
Senin, 20 April 2009
Sabtu, 22 November 2008
Menyelamatkan Mikroorganisme Indonesia
Oleh KABELAN KUNIA
Indonesia merupakan salah satu negara terkaya akan plasma nutfah, termasuk mikroorganisme yang hidup dan berkembang biak di tanah nusantara nan subur. Negara yang kaya ini memiliki sekurangnya 10 ribu jenis mikroorganisme yang diperkirakan hidup secara alami dalam ekosistem yang “ramah” untuk berkembangbiak.
Mikroorganisme merupakan mahluk hidup yang mudah beranak-pinak dan berpotensi untuk menghasilkan berbagai produk bernilai ekonomis tinggi bagi manusia, misalnya antibiotik, vaksin dan enzim. Potensi ini dapat termanfaatkan manakala manusia dapat “membujuk” mikroorganisme ini guna menghasilkan apa yang diharapkan.
Berdasarkan potensi yang dimiliki mikroorganisme, menyebabkan mereka banyak diisolasi dari berbagai sumber habitat alaminya. Kemudian digali, dipelajari serta dianalisis kemampuanya untuk diaplikasikan menghasilkan produk yang bernilai guna secara ekonomis demi keberlangsungan hidup manusia.
Konservasi
Masalah konservasi mikroorganisme telah menjadi isu yang hangat berbagai belahan dunia. Kiranya perlu upaya penyelamatan mikroorganisme khususnya strain lokal agar dapat dimanfaatkan saat ini dan di masa yang akan datang. Dengan sifatnya yang menarik, unik dan potensial, mikroorganisme yang pernah digunakan pada suatu penelitian adakalanya ingin dimanfaatkan lebih lanjut untuk penelitian pengembangan berikutnya.
Upaya penyelamatan mikroorganisme lokal memerlukan peran serta berbagai pihak. Kekayaan mikroorganisme yang melimpah di samping harus dapat dimanfaatkan dalam penelitian-penelitian guna menghasilkan suatu produk yang nantinya dapat memberikan kemashalatan terbesar bagi manusia, namun kelestariannya harus dapat dijaga dan terpelihara. Apapun caranya, keberadaan mikroorganisme lokal ini senantiasa dapat terjamin, baik itu dengan memanfaatkan koleksi kultur di laboratorium-laboratorium di berbagai Perguruan Tinggi maupun di lembaga-lembaga penelitian pemerintah lainnya. Penyelamatan mikroorganisme ini dapat juga dilakukan dengan memantau kehadiran turis-turis asing yang mengadakan penelitian “illegal” di berbagai tempat di negara kita ini.
Penulis ingin mengungkapkan bahwa banyak kejadian misalnya orang asing dengan visa turis biasa yang berkunjung ke berbagai tempat di Indonesia kemudian melakukan penjelajahan untuk mendapatkan berbagai informasi dari berbagai penduduk dimana mereka berkunjung. Dengan keluguan dan kejujuran, penduduk kemudian memberikan segala informasi bermanfaat kepada mereka. Misalkan tentang manfaat suatu tumbuhan tertentu yang dapat mengobati beberapa penyakit. Kemudian turis tersebut dengan sopannya meminta dan memetik daun tumbuhan yang dimaksud kemudian dibawa ke negara asalnya. Dengan teknik kultur jaringan sangat memungkinkan selembar daun yang dibawa tadi dapat ditumbuhkan di negara asalnya, sehingga jadilah tumbuhan yang utuh. Kemudian tumbuhan tersebut diteliti dengan teknik dan alat yang super canggih. Lantas mereka mengklaim bahwa mereka menemukan obat atau apapun dari tumbuhan tersebut lalu dipatenkan.
Hal seperti ini dapat juga dilakukan dengan sumber daya mikroorganisme kita yang melimpah. Mereka dapat saja mengambil segenggam tanah dari berbagai habitat kemudian dibawa ke negaranya. Sebanyak 2 gram sampel tanah memiliki tidak kurang dari seratus jenis mikroorganisme yang tumbuh dengan baik. Dapat dibayangkan dengan segenggam tanah yang mereka pungut dari bumi kita yang kaya, mereka dengan leluasa meneliti dan memiliki koleksi mikroorganisme yang mempunyai kemampuan spesifik untuk menghasilkan produk tetentu. Lagi-lagi mereka kemudian mengklaim produk tersebut lewat paten yang merupakan senjata buat mereka untuk “menjajah” bangsa terbelakang yang ketinggalan ipteknya.
Koleksi Kultur
Mikroorganisme merupakan ‘bahan mentahnya’nya suatu produk bioteknologi. Bioteknologi sebagai ilmu yang terus berkembang senantiasa menggunakan mikroorganisme di samping tanaman dan hewan untuk menghasilkan produk yang bermanfaat atau untuk perbaikan spesies.
Kenyataan ini yang menjadikan perlunya koleksi kultur mikroorganisme. Koleksi kultur mensyaratkan penyimpanan mikroorganisme secara baik dan benar agar dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama dengan resiko terjadinya perubahan sifat dan potensi yang seminimal mungkin.
Koleksi kultur ini diharapkan dapat mengisolasi dan mengidentifikasi potensi mikroorganisme strain lokal yang dikoleksi dari berbagai habitat di seluruh Indonesia, menyimpan dan memilhara kultur mikroorganisme dalam jangka panjang serta dapat melakukan pertukaran koleksi dengan berbagai lembaga atau laboratorium koleksi baik di dalam maupun di luar negeri.
Di samping itu koleksi kultur mikroorganisme ini dapat dijadikan suatu kegiatan untuk dapat menyelamatkan mikroorganisme lokal yang sudah barang tentu merupakan upaya pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia. Kelestarian keanekaragaman mikroorganisme ini tentunya akan menjamin keberlangsungan kehidupan mikroorganisme yang tidak hanya dapat dimanfaatkan pada saat ini namun dapat menjamin kelestariannya untuk dimanfaatkan pada masa yang akan datang.
Kiranya sebagai bangsa kita tidak ingin keanekaragaman hayati termasuk keragaman mikroorganisme yang tumbuh dan berkembang dengan nyaman dalam habitatnya yang kondusif, tiba-tiba diusik lalu dicuri oleh orang asing yang tidak bertanggung jawab. Kemudian mikroorganisme tersebut diakui sebagai milik mereka yang sedikit pun tidak memberikan kemanfaatan kepada rakyat kita yang dengan ikhlasnya memberikan segalanya.
Hampir di berbagai laboratorium di banyak negara di dunia telah mempunyai koleksi kultur mikroorganisme. Kebanyakan kulturnya menyimpan mikroorganisme yang khas dan spesifik. Pertanyaannya kemudian apakah kita yang mengaku mempunyai kekayaan mikroorganisme yang melimpah dan potensial telah memiliki koleksi kultur ini? Lalu siapkah kita melakukan pertukaran kultur antar koleksi kultur dengan koleksi kultur di luar? Sanggupkah kita memelihara dan melestarikan kekayaan mikroorganisme yang kita miliki?
Berbagai pertanyaan akan terkuak menandakan kompleksnya permasalahan yang kita hadapi. Namun bilamana kita hanya terpaku kepada kendala klasik yang dihadapi tanpa berbuat sesuatu, niscaya kita akan kehilangan peluang sejalan dengan raibnya kekayaan yang kita banggakan itu. Mungkin kini saatnya kita harus berbuat. Yakinlah bahwa masalah senantiasa menghadang apapun dan bagaimanapun kondisi bangsa kita. (***)
*) Kabelan Kunia, Staf pada Biotechnology Research Center – ITB
Indonesia merupakan salah satu negara terkaya akan plasma nutfah, termasuk mikroorganisme yang hidup dan berkembang biak di tanah nusantara nan subur. Negara yang kaya ini memiliki sekurangnya 10 ribu jenis mikroorganisme yang diperkirakan hidup secara alami dalam ekosistem yang “ramah” untuk berkembangbiak.
Mikroorganisme merupakan mahluk hidup yang mudah beranak-pinak dan berpotensi untuk menghasilkan berbagai produk bernilai ekonomis tinggi bagi manusia, misalnya antibiotik, vaksin dan enzim. Potensi ini dapat termanfaatkan manakala manusia dapat “membujuk” mikroorganisme ini guna menghasilkan apa yang diharapkan.
Berdasarkan potensi yang dimiliki mikroorganisme, menyebabkan mereka banyak diisolasi dari berbagai sumber habitat alaminya. Kemudian digali, dipelajari serta dianalisis kemampuanya untuk diaplikasikan menghasilkan produk yang bernilai guna secara ekonomis demi keberlangsungan hidup manusia.
Konservasi
Masalah konservasi mikroorganisme telah menjadi isu yang hangat berbagai belahan dunia. Kiranya perlu upaya penyelamatan mikroorganisme khususnya strain lokal agar dapat dimanfaatkan saat ini dan di masa yang akan datang. Dengan sifatnya yang menarik, unik dan potensial, mikroorganisme yang pernah digunakan pada suatu penelitian adakalanya ingin dimanfaatkan lebih lanjut untuk penelitian pengembangan berikutnya.
Upaya penyelamatan mikroorganisme lokal memerlukan peran serta berbagai pihak. Kekayaan mikroorganisme yang melimpah di samping harus dapat dimanfaatkan dalam penelitian-penelitian guna menghasilkan suatu produk yang nantinya dapat memberikan kemashalatan terbesar bagi manusia, namun kelestariannya harus dapat dijaga dan terpelihara. Apapun caranya, keberadaan mikroorganisme lokal ini senantiasa dapat terjamin, baik itu dengan memanfaatkan koleksi kultur di laboratorium-laboratorium di berbagai Perguruan Tinggi maupun di lembaga-lembaga penelitian pemerintah lainnya. Penyelamatan mikroorganisme ini dapat juga dilakukan dengan memantau kehadiran turis-turis asing yang mengadakan penelitian “illegal” di berbagai tempat di negara kita ini.
Penulis ingin mengungkapkan bahwa banyak kejadian misalnya orang asing dengan visa turis biasa yang berkunjung ke berbagai tempat di Indonesia kemudian melakukan penjelajahan untuk mendapatkan berbagai informasi dari berbagai penduduk dimana mereka berkunjung. Dengan keluguan dan kejujuran, penduduk kemudian memberikan segala informasi bermanfaat kepada mereka. Misalkan tentang manfaat suatu tumbuhan tertentu yang dapat mengobati beberapa penyakit. Kemudian turis tersebut dengan sopannya meminta dan memetik daun tumbuhan yang dimaksud kemudian dibawa ke negara asalnya. Dengan teknik kultur jaringan sangat memungkinkan selembar daun yang dibawa tadi dapat ditumbuhkan di negara asalnya, sehingga jadilah tumbuhan yang utuh. Kemudian tumbuhan tersebut diteliti dengan teknik dan alat yang super canggih. Lantas mereka mengklaim bahwa mereka menemukan obat atau apapun dari tumbuhan tersebut lalu dipatenkan.
Hal seperti ini dapat juga dilakukan dengan sumber daya mikroorganisme kita yang melimpah. Mereka dapat saja mengambil segenggam tanah dari berbagai habitat kemudian dibawa ke negaranya. Sebanyak 2 gram sampel tanah memiliki tidak kurang dari seratus jenis mikroorganisme yang tumbuh dengan baik. Dapat dibayangkan dengan segenggam tanah yang mereka pungut dari bumi kita yang kaya, mereka dengan leluasa meneliti dan memiliki koleksi mikroorganisme yang mempunyai kemampuan spesifik untuk menghasilkan produk tetentu. Lagi-lagi mereka kemudian mengklaim produk tersebut lewat paten yang merupakan senjata buat mereka untuk “menjajah” bangsa terbelakang yang ketinggalan ipteknya.
Koleksi Kultur
Mikroorganisme merupakan ‘bahan mentahnya’nya suatu produk bioteknologi. Bioteknologi sebagai ilmu yang terus berkembang senantiasa menggunakan mikroorganisme di samping tanaman dan hewan untuk menghasilkan produk yang bermanfaat atau untuk perbaikan spesies.
Kenyataan ini yang menjadikan perlunya koleksi kultur mikroorganisme. Koleksi kultur mensyaratkan penyimpanan mikroorganisme secara baik dan benar agar dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama dengan resiko terjadinya perubahan sifat dan potensi yang seminimal mungkin.
Koleksi kultur ini diharapkan dapat mengisolasi dan mengidentifikasi potensi mikroorganisme strain lokal yang dikoleksi dari berbagai habitat di seluruh Indonesia, menyimpan dan memilhara kultur mikroorganisme dalam jangka panjang serta dapat melakukan pertukaran koleksi dengan berbagai lembaga atau laboratorium koleksi baik di dalam maupun di luar negeri.
Di samping itu koleksi kultur mikroorganisme ini dapat dijadikan suatu kegiatan untuk dapat menyelamatkan mikroorganisme lokal yang sudah barang tentu merupakan upaya pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia. Kelestarian keanekaragaman mikroorganisme ini tentunya akan menjamin keberlangsungan kehidupan mikroorganisme yang tidak hanya dapat dimanfaatkan pada saat ini namun dapat menjamin kelestariannya untuk dimanfaatkan pada masa yang akan datang.
Kiranya sebagai bangsa kita tidak ingin keanekaragaman hayati termasuk keragaman mikroorganisme yang tumbuh dan berkembang dengan nyaman dalam habitatnya yang kondusif, tiba-tiba diusik lalu dicuri oleh orang asing yang tidak bertanggung jawab. Kemudian mikroorganisme tersebut diakui sebagai milik mereka yang sedikit pun tidak memberikan kemanfaatan kepada rakyat kita yang dengan ikhlasnya memberikan segalanya.
Hampir di berbagai laboratorium di banyak negara di dunia telah mempunyai koleksi kultur mikroorganisme. Kebanyakan kulturnya menyimpan mikroorganisme yang khas dan spesifik. Pertanyaannya kemudian apakah kita yang mengaku mempunyai kekayaan mikroorganisme yang melimpah dan potensial telah memiliki koleksi kultur ini? Lalu siapkah kita melakukan pertukaran kultur antar koleksi kultur dengan koleksi kultur di luar? Sanggupkah kita memelihara dan melestarikan kekayaan mikroorganisme yang kita miliki?
Berbagai pertanyaan akan terkuak menandakan kompleksnya permasalahan yang kita hadapi. Namun bilamana kita hanya terpaku kepada kendala klasik yang dihadapi tanpa berbuat sesuatu, niscaya kita akan kehilangan peluang sejalan dengan raibnya kekayaan yang kita banggakan itu. Mungkin kini saatnya kita harus berbuat. Yakinlah bahwa masalah senantiasa menghadang apapun dan bagaimanapun kondisi bangsa kita. (***)
*) Kabelan Kunia, Staf pada Biotechnology Research Center – ITB
Hama dan Insektisida Mikroba
Oleh : KABELAN KUNIA*
Artikel ini telah diterbitkan di Harian Sriwijaya Post, Minggu, 15 September 2002
HAMA merupakan salah satu faktor pembatas yang menghambat peningkatan produksi tanaman pertanian. Berbagai jenis organisme pengganggu yang dikenal sebagai hama telah banyak ditemukan di lahan pertanian. Hama pengganggu ini umumnya berupa serangga, seperti belalang, tungau, kumbang, kupu-kupu dan sebagainya.
Pada tingkat petani, pengendalian hama pengganggu ini seringkali dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis insektisida kimia yang sesuai untuk hama tertentu. Hal ini dilakukan manakala cara manual maupun cara lainnya kurang efektif mengingat serangan hama yang semakin meluas dan parah hingga dapat merugikan secara ekonomis.
Cara pemberantasan hama yang semata-mata hanya didasarkan atas penggunaan insektisida kimia apalagi dilakukan secara berlebihan, dapat menimbulkan berbagai masalah yang tidak diinginkan. Dampak yang muncul misalnya terjadinya resistensi (kekebalan) pada hama sasaran, munculnya hama-hama sekunder, merusak lingkungan bahkan lebih jauh lagi dapat menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan ekosistem. Kemungkinan juga dapat berefek tidak baik bagi kesehatan petani itu sendiri, karena terhirup atau terhisap insektisida tersebut.
Banyaknya permasalahan serta dampak negatif yang ditimbulkan terhadap penggunaan insektisida kimia, kiranya upaya terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan sistem pengendalian hama terpadu (PHT) yang melibatkan pengendalian serangga pengganggu secara kimiawi, biologis, kultur teknis dan penggunaan varietas resisten terhadap hama tertentu.
Pengendalian Biologis
Pengendalian biologis merupakan sebuah bentuk pengendalian populasi hama menggunakan organisme untuk mengurangi populasi tumbuhan atau hewan yang merugikan secara ekonomis. Pengendalian biologis merupakan salah satu aspek dari mekanisme pengendalian hama terpadu.
Pengendalian secara biologis sesungguhnya sudah terjadi secara alami yang melibatkan adanya mekanisme alam, sehingga dapat berfungsi mengembalikan keseimbangan ekosistem. Di samping aspek keseimbangan ekosistem, penerapan sistem pengendalian biologis dipandang perlu, karena apabila dibandingkan dengan pengendalian secara kimiawi mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya; biaya pemakaian relatif lebih murah, lebih spesifik, sarana pengendalian dapat dikembangkan di lapangan oleh petani dan dapat bersifat permanen.
Walaupun demikian bukan berarti pengendalian secara kimiawi tidak penting, karena dalam penerapan pengelolaan hama terpadu, di samping penerapan secara biologis dan kultur teknis, penggunaan insektisida kimiawi juga masih diperlukan secara selektif dengan mempertimbangkan waktu dan cara yang tepat.
Insektisida Mikroba
Pengendalian secara biologis dapat menggunakan berbagai organisme, misalnya parasitoid, predator maupun mikroorganisme patogen seperti jamur, bakteri bahkan virus. Banyak mikroorganisme yang telah diisolasi dari serangga hama, tapi hanya beberapa jenis yang terbukti berpotensi dapat dikembangkan sebagai insektisida potensial. Hal ini karena pertimbangan keamanan dan efektivitas dalam mengatasi serangga hama.
Dalam tulisan ini penulis sengaja ingin memaparkan mengenai insektisida mikroba yang masih jarang digunakan namun telah banyak tersedia di pasaran. Insektisida mikroba merupakan agen pengendali hama serangga yang menyebabkan penyakit dan pada akhirnya menyebabkan kematian pada serangga hama. Mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan mampu untuk bertahan lama dan membatasi populasi serangga hama untuk periode yang lama.
Keuntungan menggunakan insektisida mikroba diantaranya adalah keamanan, karena memiliki derajat spesifisitas yang tinggi. Keuntungan lainnya bahwa relatif kecil terjadinya resistensi (kekebalan) pada serangga hama, sehingga dapat digunakan pada situasi dimana insektisida kimiawi sudah tidak efektif lagi. Di samping itu insektisida mikroba dapat dengan mudah didapatkan di pasaran dan harganya relatif murah dibandingkan dengan insektisida kimia.
Walaupun spesifikasi merupakan keuntungan sebagai syarat keamanan, namun hal itu juga merupakan kerugian pada beberapa hama pertanian tertentu, karena hama serangga yang tidak terbunuh oleh insektisida mikroba ini akan terus berkembang dan suatu saat dapat menjadi hama yang potensial. Kerugian lainnya adalah beberapa insektisida mikroba lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti misalnya suhu, kelembaban dan cahaya matahari. Pengetahuan ekologi mikroba dan hama adalah penting untuk kesuksesan penggunaan insektisida mikroba di lapangan.
Di samping itu faktor keengganan petani memakai bahan biologi untuk melindungi tanamaan dari serangan hama antara lain karena keterbatasan daya kerja insektisida biologi tersebut. Insektisida biologi kerjanya spesifik, yaitu membunuh serangga jenis tertentu saja. Tidak seperti insektisida kimia yang membasmi dengan cepat, termasuk predator dan parasitoid hama yang sebenarnya bermanfaat karena berfungsi sebagai pengendali populasi hama secara alami (Kompas, 13/11/2001).
Syarat apabila akan menggunakan jasad mikroba sebagai sumber pengendalian biologis, yaitu mikroba tersebut harus mempunyai daur hidup yang panjang, mampu mempertahankan virulensinya di lapangan dan terutama tidak patogenik (berbahaya) pada manusia, tanaman, hewan dan serangga berguna lainnya.
Berbicara mengenai pengendalian biologis atau bioinsektisida, senantiasa dikaitkan dengan keberhasilan bakteri Bacillus thuringiensis atau sering disingkat Bt, sebagai “raja”nya bioinsektisida. Selama kurun waktu 30 tahun lebih Bt, bakteri dengan kemampuan sebagai insektisida yang luar biasa dalam mengendalikan hama utama dalam dunia pertanian. Sebagai bioinsektisida, Bt adalah suatu fenomena yang merupakan satu-satunya bakteri dengan penggunaan dan penyebarannya secara komersial telah berhasil luar biasa, sehingga membuatnya bagaikan monopoli mikroba dalam bisnis pengendalian hama yang bernilai ratusan juta dolar AS.
Namun baru-baru ini tim ilmuwan dari laboratorium di Universitas Wisconsin-Madison yang bekerja sama dengan ilmuwan DowElanco di Indianapolis, telah menemukan bakteri baru yang memiliki kemampuan membunuh hama tertentu. Bakteri tersebut adalah Photorhabdus luminescens, mengandung racun yang terbukti ampuh membunuh berbagai serangga mulai dari kecoa sampai kumbang penggerek buah kapas serta mampu menjadi bioinsektisida yang ampuh, aman dan tidak mengganggu lingkungan (Kompas, 1998).
Ratusan genera jamur telah dilaporkan dapat menginfeksi serangga hama, beberapa diantaranya adalah : Aspergillus, Beauveria, Cordyceps, Entomophthora, Hirsutella, Isaria, Metarrhizium, Paecilomyces, Septobasidium dan Spicaria. Bahkan beberapa jamur telah dikembangkan secara komersial sebagai insektisida mikroba adalah : Beauveria bassiana dengan nama dagang Boverin, Metharrhizium anisopliae dengan merek dagang Metaquino dan Verticillium leucanii dengan nama dagang Mycotal dan Vertalec.
Baculovirus merupakan kelompok virus yang sedang diteliti dan dikembangkan sebagai bioinsektisida untuk memberantas serangga penggerek jagung, kumbang kentang, kutu dan kumbang daun. Salah satu jenis dari Baculovirus adalah virus yang dikenal sebagai NPV (Nuclear Polyhedrosis Virus). Sebagian besar jenis virus NPV dijumpai sebagai penyebab penyakit pada larva serangga Lepidoptera, Heminoptera, Diptera dan Coleoptera. Sebagai contoh misalnya yang menyerang ulat Grayak (Pseudaletia unipunta) dan hama pada kapas (Heliothis zea). Virus lainnya dari kelompok Baculovirus ini adalah entomopox yang sedang dikembangkan untuk mengurangi laju perkembangan populasi belalang.
Penggunaan virus sebagai bioinsektisida untuk pertama kali dimulai sekitar tahun 1960-an untuk mengendalikan hama Trichoplusiani di California. Sampai saat ini penggunaan virus sebagai bioinsektisida semakin berkembang dan makin banyak virus potensial untuk dikembangkan sebagai mikroorganisme yang dapat mengendalikan populasi hama.
Pengendalian hama dengan menggunakan musuh alami eksotik, atau musuh alami yang didatangkan dari luar, seringkali menimbulkan masalah tertentu. Permasalahan yang terjadi misalnya, musuh alami tersebut kurang adaptif terhadap lingkungannya yang baru atau belum tentu cocok dengan inang (hama) yang ada, sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat mengendalikan hama di lapangan.
Oleh karenanya upaya pencarian strain-strain baru mikroba entomopatogen lokal perlu dilakukan untuk dapat meningkatkan pengendalian serangga hama secara biologis sebagai alternatif pengganti insektisida kimia.
*) Kabelan Kunia, M.Si., Staf pada Biotechnology Research Center -ITB
Artikel ini telah diterbitkan di Harian Sriwijaya Post, Minggu, 15 September 2002
HAMA merupakan salah satu faktor pembatas yang menghambat peningkatan produksi tanaman pertanian. Berbagai jenis organisme pengganggu yang dikenal sebagai hama telah banyak ditemukan di lahan pertanian. Hama pengganggu ini umumnya berupa serangga, seperti belalang, tungau, kumbang, kupu-kupu dan sebagainya.
Pada tingkat petani, pengendalian hama pengganggu ini seringkali dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis insektisida kimia yang sesuai untuk hama tertentu. Hal ini dilakukan manakala cara manual maupun cara lainnya kurang efektif mengingat serangan hama yang semakin meluas dan parah hingga dapat merugikan secara ekonomis.
Cara pemberantasan hama yang semata-mata hanya didasarkan atas penggunaan insektisida kimia apalagi dilakukan secara berlebihan, dapat menimbulkan berbagai masalah yang tidak diinginkan. Dampak yang muncul misalnya terjadinya resistensi (kekebalan) pada hama sasaran, munculnya hama-hama sekunder, merusak lingkungan bahkan lebih jauh lagi dapat menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan ekosistem. Kemungkinan juga dapat berefek tidak baik bagi kesehatan petani itu sendiri, karena terhirup atau terhisap insektisida tersebut.
Banyaknya permasalahan serta dampak negatif yang ditimbulkan terhadap penggunaan insektisida kimia, kiranya upaya terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan sistem pengendalian hama terpadu (PHT) yang melibatkan pengendalian serangga pengganggu secara kimiawi, biologis, kultur teknis dan penggunaan varietas resisten terhadap hama tertentu.
Pengendalian Biologis
Pengendalian biologis merupakan sebuah bentuk pengendalian populasi hama menggunakan organisme untuk mengurangi populasi tumbuhan atau hewan yang merugikan secara ekonomis. Pengendalian biologis merupakan salah satu aspek dari mekanisme pengendalian hama terpadu.
Pengendalian secara biologis sesungguhnya sudah terjadi secara alami yang melibatkan adanya mekanisme alam, sehingga dapat berfungsi mengembalikan keseimbangan ekosistem. Di samping aspek keseimbangan ekosistem, penerapan sistem pengendalian biologis dipandang perlu, karena apabila dibandingkan dengan pengendalian secara kimiawi mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya; biaya pemakaian relatif lebih murah, lebih spesifik, sarana pengendalian dapat dikembangkan di lapangan oleh petani dan dapat bersifat permanen.
Walaupun demikian bukan berarti pengendalian secara kimiawi tidak penting, karena dalam penerapan pengelolaan hama terpadu, di samping penerapan secara biologis dan kultur teknis, penggunaan insektisida kimiawi juga masih diperlukan secara selektif dengan mempertimbangkan waktu dan cara yang tepat.
Insektisida Mikroba
Pengendalian secara biologis dapat menggunakan berbagai organisme, misalnya parasitoid, predator maupun mikroorganisme patogen seperti jamur, bakteri bahkan virus. Banyak mikroorganisme yang telah diisolasi dari serangga hama, tapi hanya beberapa jenis yang terbukti berpotensi dapat dikembangkan sebagai insektisida potensial. Hal ini karena pertimbangan keamanan dan efektivitas dalam mengatasi serangga hama.
Dalam tulisan ini penulis sengaja ingin memaparkan mengenai insektisida mikroba yang masih jarang digunakan namun telah banyak tersedia di pasaran. Insektisida mikroba merupakan agen pengendali hama serangga yang menyebabkan penyakit dan pada akhirnya menyebabkan kematian pada serangga hama. Mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan mampu untuk bertahan lama dan membatasi populasi serangga hama untuk periode yang lama.
Keuntungan menggunakan insektisida mikroba diantaranya adalah keamanan, karena memiliki derajat spesifisitas yang tinggi. Keuntungan lainnya bahwa relatif kecil terjadinya resistensi (kekebalan) pada serangga hama, sehingga dapat digunakan pada situasi dimana insektisida kimiawi sudah tidak efektif lagi. Di samping itu insektisida mikroba dapat dengan mudah didapatkan di pasaran dan harganya relatif murah dibandingkan dengan insektisida kimia.
Walaupun spesifikasi merupakan keuntungan sebagai syarat keamanan, namun hal itu juga merupakan kerugian pada beberapa hama pertanian tertentu, karena hama serangga yang tidak terbunuh oleh insektisida mikroba ini akan terus berkembang dan suatu saat dapat menjadi hama yang potensial. Kerugian lainnya adalah beberapa insektisida mikroba lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti misalnya suhu, kelembaban dan cahaya matahari. Pengetahuan ekologi mikroba dan hama adalah penting untuk kesuksesan penggunaan insektisida mikroba di lapangan.
Di samping itu faktor keengganan petani memakai bahan biologi untuk melindungi tanamaan dari serangan hama antara lain karena keterbatasan daya kerja insektisida biologi tersebut. Insektisida biologi kerjanya spesifik, yaitu membunuh serangga jenis tertentu saja. Tidak seperti insektisida kimia yang membasmi dengan cepat, termasuk predator dan parasitoid hama yang sebenarnya bermanfaat karena berfungsi sebagai pengendali populasi hama secara alami (Kompas, 13/11/2001).
Syarat apabila akan menggunakan jasad mikroba sebagai sumber pengendalian biologis, yaitu mikroba tersebut harus mempunyai daur hidup yang panjang, mampu mempertahankan virulensinya di lapangan dan terutama tidak patogenik (berbahaya) pada manusia, tanaman, hewan dan serangga berguna lainnya.
Berbicara mengenai pengendalian biologis atau bioinsektisida, senantiasa dikaitkan dengan keberhasilan bakteri Bacillus thuringiensis atau sering disingkat Bt, sebagai “raja”nya bioinsektisida. Selama kurun waktu 30 tahun lebih Bt, bakteri dengan kemampuan sebagai insektisida yang luar biasa dalam mengendalikan hama utama dalam dunia pertanian. Sebagai bioinsektisida, Bt adalah suatu fenomena yang merupakan satu-satunya bakteri dengan penggunaan dan penyebarannya secara komersial telah berhasil luar biasa, sehingga membuatnya bagaikan monopoli mikroba dalam bisnis pengendalian hama yang bernilai ratusan juta dolar AS.
Namun baru-baru ini tim ilmuwan dari laboratorium di Universitas Wisconsin-Madison yang bekerja sama dengan ilmuwan DowElanco di Indianapolis, telah menemukan bakteri baru yang memiliki kemampuan membunuh hama tertentu. Bakteri tersebut adalah Photorhabdus luminescens, mengandung racun yang terbukti ampuh membunuh berbagai serangga mulai dari kecoa sampai kumbang penggerek buah kapas serta mampu menjadi bioinsektisida yang ampuh, aman dan tidak mengganggu lingkungan (Kompas, 1998).
Ratusan genera jamur telah dilaporkan dapat menginfeksi serangga hama, beberapa diantaranya adalah : Aspergillus, Beauveria, Cordyceps, Entomophthora, Hirsutella, Isaria, Metarrhizium, Paecilomyces, Septobasidium dan Spicaria. Bahkan beberapa jamur telah dikembangkan secara komersial sebagai insektisida mikroba adalah : Beauveria bassiana dengan nama dagang Boverin, Metharrhizium anisopliae dengan merek dagang Metaquino dan Verticillium leucanii dengan nama dagang Mycotal dan Vertalec.
Baculovirus merupakan kelompok virus yang sedang diteliti dan dikembangkan sebagai bioinsektisida untuk memberantas serangga penggerek jagung, kumbang kentang, kutu dan kumbang daun. Salah satu jenis dari Baculovirus adalah virus yang dikenal sebagai NPV (Nuclear Polyhedrosis Virus). Sebagian besar jenis virus NPV dijumpai sebagai penyebab penyakit pada larva serangga Lepidoptera, Heminoptera, Diptera dan Coleoptera. Sebagai contoh misalnya yang menyerang ulat Grayak (Pseudaletia unipunta) dan hama pada kapas (Heliothis zea). Virus lainnya dari kelompok Baculovirus ini adalah entomopox yang sedang dikembangkan untuk mengurangi laju perkembangan populasi belalang.
Penggunaan virus sebagai bioinsektisida untuk pertama kali dimulai sekitar tahun 1960-an untuk mengendalikan hama Trichoplusiani di California. Sampai saat ini penggunaan virus sebagai bioinsektisida semakin berkembang dan makin banyak virus potensial untuk dikembangkan sebagai mikroorganisme yang dapat mengendalikan populasi hama.
Pengendalian hama dengan menggunakan musuh alami eksotik, atau musuh alami yang didatangkan dari luar, seringkali menimbulkan masalah tertentu. Permasalahan yang terjadi misalnya, musuh alami tersebut kurang adaptif terhadap lingkungannya yang baru atau belum tentu cocok dengan inang (hama) yang ada, sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat mengendalikan hama di lapangan.
Oleh karenanya upaya pencarian strain-strain baru mikroba entomopatogen lokal perlu dilakukan untuk dapat meningkatkan pengendalian serangga hama secara biologis sebagai alternatif pengganti insektisida kimia.
*) Kabelan Kunia, M.Si., Staf pada Biotechnology Research Center -ITB
Senin, 22 September 2008
Supertoy HL-2 vs Padi SRI
Panen raya padi organik metode System of Rice Intensification (SRI) telah dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di sela-sela kunjungan ke Desa Pamoyanan, Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (Kompas,19/9).
Pola SRI sendiri merupakan perpaduan antara pembelajaran ekologi tanah dan pengendalian hama terpadu. Terdapat tiga hal yang utama dalam pola SRI organik, yakni pengelolaan tanah dan bahan organik yang sehat, pengeloaan potensi tanaman secara optimal, dan pengelolaan air yang baik dan teratur.
Produksi padi dengan metode SRI bisa mencapai 6,5-12 ton GKG per hektar. Angka ini akan sangat membantu pencapaian target Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) di daerah. Selain hasil produksinya tergolong tiggi harga beras hasil SRI organik pun mahal, paling tidak Rp 7.000 per kilogram sudah pasti akan didapat oleh petani.
Penerapan metode budidaya padi sawah SRI yang paling menarik adalah bertumpu pada proses bukan pada hasil. Ketertarikan saya untuk menekuni metode SRI diawali perkenalan saya pertama kali dengan seorang dosen senior Teknik Kimia ITB, yaitu Bapak Dr. Mubiar Purwasasmita. Saya mengetahui dan mendalami metode ini karena motivasi dan dorongan dari beliau yang terus-menerus memberi pemahaman kepada saya tentang SRI. Hal paling menarik dalam sistem ini menurut beliau, di samping terjadi banyak penghematan dan efisiensi mulai dari penggunaan bibit, pupuk dan antihama kimia, sampai kepada efisiensi air juga terjadi penghematan dalam hal pembiayaan oleh petani. Betapa tidak, karena metode ini memberikan penghematan dalam ongkos produksi yang otomatis dapat mengurangi budget petani dalam memproduksi beras yang baik.
Metode SRI dengan pengunaan kompos sebagai pupuk dasar utama sebagai pengganti pupuk kimia yang banyak digunakan petani secara membabi-buta, akan memberikan ruang hidup yang nyaman bagi jutaan mikroorganisme tanah termasuk juga cacing dan serangga lain yang perannya sangat krusial dalam ekosistem tanah, ekosistem sawah dan untuk tanaman padi itu sendiri. Bahwa hasil berlipat seperti yang kami dapatkan selama ini, semata-mata karena proses yang benar telah dilakukan petani dengan memperhatikan keberlangsungan kehidupan dalam suatu ekosistem sawah.
Fenomena SUPERTOY HL-2 adalah sebuah kesalahan besar yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Presiden SBY dan Staf Khususnya. Teknologi pertanian yang bertumpu semata-mata kepada hasil dengan mengabaikan proses, adalah pekerjaan sia-sia dan tanpa perhitungan. Boleh jadi benih padi SUPERTOY adalah benih yang bagus dengan kualitas seperti yang dipromosikan. Tetapi, benih yang bagus kalau tidak diaplikasikan dengan teknik budidaya yang baik apalagi dengan mengesampingkan proses produksinya dan tidak memperhitungakan kuasa Yang Maha Kuasa, yaitu faktor cuaca dan musim, maka tunggulah akibat buruk yang akan menimpa.
Belajar dari kasus SUPERTOY, saya banyak mempertimbangkan teknologi SRI yang mulai saya tekuni sejak 2006 yang lalu. Faktor produksi dan kelestarian alam dengan mengakomodasi kekuatan dan potensi lokal merupakan kekuatan kami dalam melakukan inovasi SRI di lapangan.
Bahwa hasil panen yang berlipat bukan merupakan tujuan utama dalam pelaksanaan kegiatan SRI. Proses SRI yang benar dan konsisten pelan-pelan kami tumbuh kembangkan ke petani-petani binaan. Petani MANDIRI adalah tujuan sesungguhnya dari setiap demplot atau demarea yang kami lakukan.
Petani MANDIRI adalah ketika petani sudah tidak pusing memikirkan kenaikan dan kelangkaan pupuk dan obat kimia, karena mereka sudah mempunyai pengetahuan untuk memproduksinya sendiri. Petani MANDIRI adalah ketika petani sudah tidak hirau dengan kondisi air sawah yang fluktuatif debitnya, karena SRI dikenal dengan metode irit air, yaitu hanya 40% saja penmanfaatnya di lahan sawah. Petani MANDIRI adalah ketika petani sudah tidak peduli dengan harga gabah atau beras yang naik turun di pasaran, karena gabah dan beras berkualitas yang mereka hasilkan sudah pasti mendapatkan harga yang layak dan pasti dengan standar organik dari konsumen tetapnya. Petani MANDIRI adalah ketika petani sudah tidak menggantungkan hidup keluarganya kepada lintah darat, bandar dan orang jahat berkalung riba yang menjerat kehidupan keluarganya.
Petani MANDIRI semacam inilah yang akan kami bangun dengan penerapan metode SRI di seluruh Indonesia. Ketika petani-petani mandiri ini telah menyebar, bisa dibayangkan kekuatan ekonomi pedesaan akan menjelma menjadi kekuatan ekonomi nasional yang dapat mengendalikan stok dan harga pangan di Indonesia, amin...
(*Kabelan Kunia, Penggiat dan pemberdaya petani SRI)
Pola SRI sendiri merupakan perpaduan antara pembelajaran ekologi tanah dan pengendalian hama terpadu. Terdapat tiga hal yang utama dalam pola SRI organik, yakni pengelolaan tanah dan bahan organik yang sehat, pengeloaan potensi tanaman secara optimal, dan pengelolaan air yang baik dan teratur.
Produksi padi dengan metode SRI bisa mencapai 6,5-12 ton GKG per hektar. Angka ini akan sangat membantu pencapaian target Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) di daerah. Selain hasil produksinya tergolong tiggi harga beras hasil SRI organik pun mahal, paling tidak Rp 7.000 per kilogram sudah pasti akan didapat oleh petani.
Penerapan metode budidaya padi sawah SRI yang paling menarik adalah bertumpu pada proses bukan pada hasil. Ketertarikan saya untuk menekuni metode SRI diawali perkenalan saya pertama kali dengan seorang dosen senior Teknik Kimia ITB, yaitu Bapak Dr. Mubiar Purwasasmita. Saya mengetahui dan mendalami metode ini karena motivasi dan dorongan dari beliau yang terus-menerus memberi pemahaman kepada saya tentang SRI. Hal paling menarik dalam sistem ini menurut beliau, di samping terjadi banyak penghematan dan efisiensi mulai dari penggunaan bibit, pupuk dan antihama kimia, sampai kepada efisiensi air juga terjadi penghematan dalam hal pembiayaan oleh petani. Betapa tidak, karena metode ini memberikan penghematan dalam ongkos produksi yang otomatis dapat mengurangi budget petani dalam memproduksi beras yang baik.
Metode SRI dengan pengunaan kompos sebagai pupuk dasar utama sebagai pengganti pupuk kimia yang banyak digunakan petani secara membabi-buta, akan memberikan ruang hidup yang nyaman bagi jutaan mikroorganisme tanah termasuk juga cacing dan serangga lain yang perannya sangat krusial dalam ekosistem tanah, ekosistem sawah dan untuk tanaman padi itu sendiri. Bahwa hasil berlipat seperti yang kami dapatkan selama ini, semata-mata karena proses yang benar telah dilakukan petani dengan memperhatikan keberlangsungan kehidupan dalam suatu ekosistem sawah.
Fenomena SUPERTOY HL-2 adalah sebuah kesalahan besar yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Presiden SBY dan Staf Khususnya. Teknologi pertanian yang bertumpu semata-mata kepada hasil dengan mengabaikan proses, adalah pekerjaan sia-sia dan tanpa perhitungan. Boleh jadi benih padi SUPERTOY adalah benih yang bagus dengan kualitas seperti yang dipromosikan. Tetapi, benih yang bagus kalau tidak diaplikasikan dengan teknik budidaya yang baik apalagi dengan mengesampingkan proses produksinya dan tidak memperhitungakan kuasa Yang Maha Kuasa, yaitu faktor cuaca dan musim, maka tunggulah akibat buruk yang akan menimpa.
Belajar dari kasus SUPERTOY, saya banyak mempertimbangkan teknologi SRI yang mulai saya tekuni sejak 2006 yang lalu. Faktor produksi dan kelestarian alam dengan mengakomodasi kekuatan dan potensi lokal merupakan kekuatan kami dalam melakukan inovasi SRI di lapangan.
Bahwa hasil panen yang berlipat bukan merupakan tujuan utama dalam pelaksanaan kegiatan SRI. Proses SRI yang benar dan konsisten pelan-pelan kami tumbuh kembangkan ke petani-petani binaan. Petani MANDIRI adalah tujuan sesungguhnya dari setiap demplot atau demarea yang kami lakukan.
Petani MANDIRI adalah ketika petani sudah tidak pusing memikirkan kenaikan dan kelangkaan pupuk dan obat kimia, karena mereka sudah mempunyai pengetahuan untuk memproduksinya sendiri. Petani MANDIRI adalah ketika petani sudah tidak hirau dengan kondisi air sawah yang fluktuatif debitnya, karena SRI dikenal dengan metode irit air, yaitu hanya 40% saja penmanfaatnya di lahan sawah. Petani MANDIRI adalah ketika petani sudah tidak peduli dengan harga gabah atau beras yang naik turun di pasaran, karena gabah dan beras berkualitas yang mereka hasilkan sudah pasti mendapatkan harga yang layak dan pasti dengan standar organik dari konsumen tetapnya. Petani MANDIRI adalah ketika petani sudah tidak menggantungkan hidup keluarganya kepada lintah darat, bandar dan orang jahat berkalung riba yang menjerat kehidupan keluarganya.
Petani MANDIRI semacam inilah yang akan kami bangun dengan penerapan metode SRI di seluruh Indonesia. Ketika petani-petani mandiri ini telah menyebar, bisa dibayangkan kekuatan ekonomi pedesaan akan menjelma menjadi kekuatan ekonomi nasional yang dapat mengendalikan stok dan harga pangan di Indonesia, amin...
(*Kabelan Kunia, Penggiat dan pemberdaya petani SRI)
Selasa, 09 September 2008
Supertoy, Isyarat Pemimpin Bak Seekor Keledai
Oleh Kabelan Kunia
Ingat pepatah "Bak keledai yang terperosak dalam lubang yang sama dua kali". Barangkali pepatah ini sangat relevan sekali dengan peristiwa yang dialami Presiden SBY dalam kurun waktu satu tahun belakang ini.
Belumlah usai polemik Blueenergi yang dimotori oleh Mr. Joko Suprapto dengan rekayasa mesin dan Bahan Bakar Alternatif dari air (Banyugeni) yang menghebohkan beberapa bulan yang lalu. Kini, SBY dan staf khususnya yang juga khusus membuat 'onar' dan sensasi dengan memprakarsai padi Supertoy HL-2 yang menimbulkan masalah dan polemik yang berkepanjangan.
Dua peristiwa unik dan bodoh ini menurut saya patut disikapi oleh pemerintah dan kita tentunya sebagai bangsa. Karena ambisi ingin segera membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju, bangsa yang besar dan bangsa yang unggul dalam teknologi, terkadang kita menjadi lupa diri. Kita dalam hal ini pemerintah terjebak dengan hasil bukan proses. Sangat mengimpikan bangsa ini beranjak dari keterbelakangan dan keterpurukan, jalan pintas dan budaya instan ditempuh oleh pengelola pemerintahan untuk segera menuntaskannya. Apa lacur, alih-alih kemakmuran dan kesejahteraan yang terwujud, malapetaka dan kehancuran yang datang. Peristiwa memalukan ini sangat mencoreng kredibilitas SBY dan pemerintah yang dipimpinnya. Tidak tanggung-tanggung, konon Mr. Joko Suprapto langsung didatangkan ke hadapan presiden dan delegasi negara peserta konfrensi lingkungan di Bali beberapa waktu lalu untuk mempresentasikan 'rekayasa' riset yang dia temukan.
Fenomena Blueenergi dan Supertoy menjadi menarik ketika kita membicarakan kajian ilmiah dan etika riset yang dijunjung tinggi sebagian besar ilmuwan dan peneliti dimanapun. Sebuah penelitian yang bagus, pasti didasasarkan dari riset yang panjang mulai dari hulu sampai ke hilir, mulai dari dasar yang kita kenal sebagai penelitian dasar sampai kepada aplikasi atau menghasilkan produk. Tahapan ilmiah perlu dilakukan untuk membuktikan bahwa sebuah penelitian layak atau tidak untuk diterapkan kepada masyarakat. Kajian ilmiah ini umumnya dilakukan oleh ilmuwan atau peneliti di lembaga atau universitas riset. Tidak menutup kemungkinan bahwa sebuah inovasi riset dihasilkan dari seseorang atau lembaga di luar institusi resmi. Tetapi inovasi tersebut tetap saja harus melalui kajian yang mendalam dalam aspek ilmiahnya.
Menarik ketika mendapatkan kenyataan bahwa sebuah inovasi yang dihasilkan oleh anak bangsa, kemudian diterima oleh pemerintah tanpa terlebih dahulu mengkonfirmasikan ke instansi atau lembaga terkait. Lembaga kepresiden seolah memiliki sebuah lembaga baru yang tersembunyi dan kebijakannya melangkahi semua departemen yang ada dalam pemerintahan itu sendiri. Kita lihat, kasus blueenergi, presiden lebih percaya kepada staf khususnya ketimbang meminta konfirmasi kepada menteri terkait seperti Menteri ESDM dan Menteri Ristek. Demikian juga dengan polemik Supertoy, presiden dengan bangga menunjuk staf khusus beliau yang tadinya telah menjerumuskannya dalam kasus blueenrgi, ketimbang menyerahkan wewenang kepada menteri pertanian atau menteri Ristek.
Lantas, apa kerja para menterinya kalau semua pekerjaan, proyek besar semua ditangani oleh staf khusus. Kalo gitu yah, bubarkan saja para menterinya. Bentuk saja staf-staf khusus yang permanen untuk semua bidang yang dia perlukan.
Tapi yang jelas, saya masih percaya dengan pepatah di atas. Karena bodohnya keledai, pasti ia akan terjatuh lagi ke lubang yang sama.
Ingat pepatah "Bak keledai yang terperosak dalam lubang yang sama dua kali". Barangkali pepatah ini sangat relevan sekali dengan peristiwa yang dialami Presiden SBY dalam kurun waktu satu tahun belakang ini.
Belumlah usai polemik Blueenergi yang dimotori oleh Mr. Joko Suprapto dengan rekayasa mesin dan Bahan Bakar Alternatif dari air (Banyugeni) yang menghebohkan beberapa bulan yang lalu. Kini, SBY dan staf khususnya yang juga khusus membuat 'onar' dan sensasi dengan memprakarsai padi Supertoy HL-2 yang menimbulkan masalah dan polemik yang berkepanjangan.
Dua peristiwa unik dan bodoh ini menurut saya patut disikapi oleh pemerintah dan kita tentunya sebagai bangsa. Karena ambisi ingin segera membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju, bangsa yang besar dan bangsa yang unggul dalam teknologi, terkadang kita menjadi lupa diri. Kita dalam hal ini pemerintah terjebak dengan hasil bukan proses. Sangat mengimpikan bangsa ini beranjak dari keterbelakangan dan keterpurukan, jalan pintas dan budaya instan ditempuh oleh pengelola pemerintahan untuk segera menuntaskannya. Apa lacur, alih-alih kemakmuran dan kesejahteraan yang terwujud, malapetaka dan kehancuran yang datang. Peristiwa memalukan ini sangat mencoreng kredibilitas SBY dan pemerintah yang dipimpinnya. Tidak tanggung-tanggung, konon Mr. Joko Suprapto langsung didatangkan ke hadapan presiden dan delegasi negara peserta konfrensi lingkungan di Bali beberapa waktu lalu untuk mempresentasikan 'rekayasa' riset yang dia temukan.
Fenomena Blueenergi dan Supertoy menjadi menarik ketika kita membicarakan kajian ilmiah dan etika riset yang dijunjung tinggi sebagian besar ilmuwan dan peneliti dimanapun. Sebuah penelitian yang bagus, pasti didasasarkan dari riset yang panjang mulai dari hulu sampai ke hilir, mulai dari dasar yang kita kenal sebagai penelitian dasar sampai kepada aplikasi atau menghasilkan produk. Tahapan ilmiah perlu dilakukan untuk membuktikan bahwa sebuah penelitian layak atau tidak untuk diterapkan kepada masyarakat. Kajian ilmiah ini umumnya dilakukan oleh ilmuwan atau peneliti di lembaga atau universitas riset. Tidak menutup kemungkinan bahwa sebuah inovasi riset dihasilkan dari seseorang atau lembaga di luar institusi resmi. Tetapi inovasi tersebut tetap saja harus melalui kajian yang mendalam dalam aspek ilmiahnya.
Menarik ketika mendapatkan kenyataan bahwa sebuah inovasi yang dihasilkan oleh anak bangsa, kemudian diterima oleh pemerintah tanpa terlebih dahulu mengkonfirmasikan ke instansi atau lembaga terkait. Lembaga kepresiden seolah memiliki sebuah lembaga baru yang tersembunyi dan kebijakannya melangkahi semua departemen yang ada dalam pemerintahan itu sendiri. Kita lihat, kasus blueenergi, presiden lebih percaya kepada staf khususnya ketimbang meminta konfirmasi kepada menteri terkait seperti Menteri ESDM dan Menteri Ristek. Demikian juga dengan polemik Supertoy, presiden dengan bangga menunjuk staf khusus beliau yang tadinya telah menjerumuskannya dalam kasus blueenrgi, ketimbang menyerahkan wewenang kepada menteri pertanian atau menteri Ristek.
Lantas, apa kerja para menterinya kalau semua pekerjaan, proyek besar semua ditangani oleh staf khusus. Kalo gitu yah, bubarkan saja para menterinya. Bentuk saja staf-staf khusus yang permanen untuk semua bidang yang dia perlukan.
Tapi yang jelas, saya masih percaya dengan pepatah di atas. Karena bodohnya keledai, pasti ia akan terjatuh lagi ke lubang yang sama.
SuperLetoy HL-2 (Supertoy ding, sorry), Siapa yang Bertanggungjawab?
Oleh Kabelan Kunia
Beberapa hari terakhir kita disibukkan dengan berita yang cukup mengenaskan hati, tragedi padi Supertoy HL-2 di beberapa wilayah di Jawa Tengah.
Lagi-lagi masalah ini mengkaitkan dengan kebiasaan presiden kita SBY yang gandrung tebar pesona dengan berbagai proyek yang diproyeksi dapat mengangkat popularitas, lebih-lebih menjelang April 2009.
Sebenarnya saya tidak tertarik untuk membahas masalah ini. Tapi, saya agak 'gatal' karena melihat banyak sekali korban yang tak berdaya, yaitu masyarakat kecil alias petani dalam kasus ini. Bayangkan, dengan kondisi normal saja petani kita sudah tidak dapat dikatakan hidup normal dengan pendapatan mereka yang minus. Ditambah himpitan hidup yang kian mendesak, minyak tanah langka dan mahal, gas tidak punya, kalaupun dapat jatah dari pemerintah, selanjutnya mereka tidak bisa membeli gas yang harganya kian meroket tanpa kompromi.
Tiba-tiba datang malaikat penolong, seolah-olah menawarkan sorga yang terang-benderang dengan mengatasnamakan Staf Khusus Presiden RI. Janji mulai ditebarkan. Bibit Supertoy HL-2mulai disemai yang katanya super karena dapat dipanen tiga kali dalam setahun tanpa melakukan penanaman berulang dengan hasil mencapai 13 ton/ hektar.
Ah, siapa orang yang tidak tergiur dan percaya. Utusan pemerintah gitu loh.....
Aduh, rakyatku yang malang, rupanya engkau masuk dalam perangkap dan jebakan orang yang tidak bertanggungjawab.
Konon, pada panen perdana yang penuh seremonial oleh Bapak SBY, dilaporkan varietas Super ini hanya memproduksi padi 7,3 ton/hektar saja. Nah, pada penen kedua yang menghebohkan karena amuk petani sudah tidak dapat dibendung, gagal total alias tidak berproduksi.
Setelah semua terjadi, siapa yang bertanggungjawab. Pemerintah jelas-jelas dari beberapa kali pernyataan tidak bertanggungjawab. SBY lewat juru bicarannya merasa tidak terlibat. Pemerintah dalam hal ini Deptan lewat menterinya, merasa kecolongan dan tidak pernah diminta oleh panpel atau SBY sendiri ngurusi ujicoba varietas padi baru ini.
Nah, lho, siapa yang dapat bantu petani kita yang ketiban sial? Beginikah presiden kita yang hebat dan pemerintah kita yang amburadul ini bersikap? Gampang sekali melempar tanggungjawab setelah keringat rakyat kecil disedot lewat proyek yang tidak jelas ini?
Saya yakin, kalaulah proyek ini sukses, bisa dibayangkan akan banyak sekali orang yang ngacungin telunjuk karena merasa mereka yang paling berjasa mensukseskan proyek ini. Sudah barang tentu presiden kita dengan bangga menyampaikan pidoto kenegaraan di depan sidang paripurna DPR/ MPR di Senayan sana atau mungkin buru-buru kontak ke PBB untuk pidoto di markasnya di Washington sana.
Tapi, nasi sudah jadi bubur. Rupanya pejabat dan pemimpin kita tidak belajar dari pengalaman, termasuk pengalaman pahit sekalipun. Rupanya Presiden SBY dan timnya tidak belajar dari kasus Blueenergi Mr. Joko Suprapto yang jelas-jelas mengkadali lembaga kepresidenan.
Nah, kalo udah begini, kita harus bertanya, pantas tidak pemimpin berprilaku instan memimpin bangsa yang ingin maju tapi dengan cara yang tidak benar. Jawabannya kita tunggu April 2009.
*Penggiat dan praktisi padi organik SRI,
Beberapa hari terakhir kita disibukkan dengan berita yang cukup mengenaskan hati, tragedi padi Supertoy HL-2 di beberapa wilayah di Jawa Tengah.
Lagi-lagi masalah ini mengkaitkan dengan kebiasaan presiden kita SBY yang gandrung tebar pesona dengan berbagai proyek yang diproyeksi dapat mengangkat popularitas, lebih-lebih menjelang April 2009.
Sebenarnya saya tidak tertarik untuk membahas masalah ini. Tapi, saya agak 'gatal' karena melihat banyak sekali korban yang tak berdaya, yaitu masyarakat kecil alias petani dalam kasus ini. Bayangkan, dengan kondisi normal saja petani kita sudah tidak dapat dikatakan hidup normal dengan pendapatan mereka yang minus. Ditambah himpitan hidup yang kian mendesak, minyak tanah langka dan mahal, gas tidak punya, kalaupun dapat jatah dari pemerintah, selanjutnya mereka tidak bisa membeli gas yang harganya kian meroket tanpa kompromi.
Tiba-tiba datang malaikat penolong, seolah-olah menawarkan sorga yang terang-benderang dengan mengatasnamakan Staf Khusus Presiden RI. Janji mulai ditebarkan. Bibit Supertoy HL-2mulai disemai yang katanya super karena dapat dipanen tiga kali dalam setahun tanpa melakukan penanaman berulang dengan hasil mencapai 13 ton/ hektar.
Ah, siapa orang yang tidak tergiur dan percaya. Utusan pemerintah gitu loh.....
Aduh, rakyatku yang malang, rupanya engkau masuk dalam perangkap dan jebakan orang yang tidak bertanggungjawab.
Konon, pada panen perdana yang penuh seremonial oleh Bapak SBY, dilaporkan varietas Super ini hanya memproduksi padi 7,3 ton/hektar saja. Nah, pada penen kedua yang menghebohkan karena amuk petani sudah tidak dapat dibendung, gagal total alias tidak berproduksi.
Setelah semua terjadi, siapa yang bertanggungjawab. Pemerintah jelas-jelas dari beberapa kali pernyataan tidak bertanggungjawab. SBY lewat juru bicarannya merasa tidak terlibat. Pemerintah dalam hal ini Deptan lewat menterinya, merasa kecolongan dan tidak pernah diminta oleh panpel atau SBY sendiri ngurusi ujicoba varietas padi baru ini.
Nah, lho, siapa yang dapat bantu petani kita yang ketiban sial? Beginikah presiden kita yang hebat dan pemerintah kita yang amburadul ini bersikap? Gampang sekali melempar tanggungjawab setelah keringat rakyat kecil disedot lewat proyek yang tidak jelas ini?
Saya yakin, kalaulah proyek ini sukses, bisa dibayangkan akan banyak sekali orang yang ngacungin telunjuk karena merasa mereka yang paling berjasa mensukseskan proyek ini. Sudah barang tentu presiden kita dengan bangga menyampaikan pidoto kenegaraan di depan sidang paripurna DPR/ MPR di Senayan sana atau mungkin buru-buru kontak ke PBB untuk pidoto di markasnya di Washington sana.
Tapi, nasi sudah jadi bubur. Rupanya pejabat dan pemimpin kita tidak belajar dari pengalaman, termasuk pengalaman pahit sekalipun. Rupanya Presiden SBY dan timnya tidak belajar dari kasus Blueenergi Mr. Joko Suprapto yang jelas-jelas mengkadali lembaga kepresidenan.
Nah, kalo udah begini, kita harus bertanya, pantas tidak pemimpin berprilaku instan memimpin bangsa yang ingin maju tapi dengan cara yang tidak benar. Jawabannya kita tunggu April 2009.
*Penggiat dan praktisi padi organik SRI,
Langganan:
Postingan (Atom)