Oleh Kabelan Kunia
Ingat pepatah "Bak keledai yang terperosak dalam lubang yang sama dua kali". Barangkali pepatah ini sangat relevan sekali dengan peristiwa yang dialami Presiden SBY dalam kurun waktu satu tahun belakang ini.
Belumlah usai polemik Blueenergi yang dimotori oleh Mr. Joko Suprapto dengan rekayasa mesin dan Bahan Bakar Alternatif dari air (Banyugeni) yang menghebohkan beberapa bulan yang lalu. Kini, SBY dan staf khususnya yang juga khusus membuat 'onar' dan sensasi dengan memprakarsai padi Supertoy HL-2 yang menimbulkan masalah dan polemik yang berkepanjangan.
Dua peristiwa unik dan bodoh ini menurut saya patut disikapi oleh pemerintah dan kita tentunya sebagai bangsa. Karena ambisi ingin segera membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju, bangsa yang besar dan bangsa yang unggul dalam teknologi, terkadang kita menjadi lupa diri. Kita dalam hal ini pemerintah terjebak dengan hasil bukan proses. Sangat mengimpikan bangsa ini beranjak dari keterbelakangan dan keterpurukan, jalan pintas dan budaya instan ditempuh oleh pengelola pemerintahan untuk segera menuntaskannya. Apa lacur, alih-alih kemakmuran dan kesejahteraan yang terwujud, malapetaka dan kehancuran yang datang. Peristiwa memalukan ini sangat mencoreng kredibilitas SBY dan pemerintah yang dipimpinnya. Tidak tanggung-tanggung, konon Mr. Joko Suprapto langsung didatangkan ke hadapan presiden dan delegasi negara peserta konfrensi lingkungan di Bali beberapa waktu lalu untuk mempresentasikan 'rekayasa' riset yang dia temukan.
Fenomena Blueenergi dan Supertoy menjadi menarik ketika kita membicarakan kajian ilmiah dan etika riset yang dijunjung tinggi sebagian besar ilmuwan dan peneliti dimanapun. Sebuah penelitian yang bagus, pasti didasasarkan dari riset yang panjang mulai dari hulu sampai ke hilir, mulai dari dasar yang kita kenal sebagai penelitian dasar sampai kepada aplikasi atau menghasilkan produk. Tahapan ilmiah perlu dilakukan untuk membuktikan bahwa sebuah penelitian layak atau tidak untuk diterapkan kepada masyarakat. Kajian ilmiah ini umumnya dilakukan oleh ilmuwan atau peneliti di lembaga atau universitas riset. Tidak menutup kemungkinan bahwa sebuah inovasi riset dihasilkan dari seseorang atau lembaga di luar institusi resmi. Tetapi inovasi tersebut tetap saja harus melalui kajian yang mendalam dalam aspek ilmiahnya.
Menarik ketika mendapatkan kenyataan bahwa sebuah inovasi yang dihasilkan oleh anak bangsa, kemudian diterima oleh pemerintah tanpa terlebih dahulu mengkonfirmasikan ke instansi atau lembaga terkait. Lembaga kepresiden seolah memiliki sebuah lembaga baru yang tersembunyi dan kebijakannya melangkahi semua departemen yang ada dalam pemerintahan itu sendiri. Kita lihat, kasus blueenergi, presiden lebih percaya kepada staf khususnya ketimbang meminta konfirmasi kepada menteri terkait seperti Menteri ESDM dan Menteri Ristek. Demikian juga dengan polemik Supertoy, presiden dengan bangga menunjuk staf khusus beliau yang tadinya telah menjerumuskannya dalam kasus blueenrgi, ketimbang menyerahkan wewenang kepada menteri pertanian atau menteri Ristek.
Lantas, apa kerja para menterinya kalau semua pekerjaan, proyek besar semua ditangani oleh staf khusus. Kalo gitu yah, bubarkan saja para menterinya. Bentuk saja staf-staf khusus yang permanen untuk semua bidang yang dia perlukan.
Tapi yang jelas, saya masih percaya dengan pepatah di atas. Karena bodohnya keledai, pasti ia akan terjatuh lagi ke lubang yang sama.
Selasa, 09 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar