Panen raya padi organik metode System of Rice Intensification (SRI) telah dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di sela-sela kunjungan ke Desa Pamoyanan, Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (Kompas,19/9).
Pola SRI sendiri merupakan perpaduan antara pembelajaran ekologi tanah dan pengendalian hama terpadu. Terdapat tiga hal yang utama dalam pola SRI organik, yakni pengelolaan tanah dan bahan organik yang sehat, pengeloaan potensi tanaman secara optimal, dan pengelolaan air yang baik dan teratur.
Produksi padi dengan metode SRI bisa mencapai 6,5-12 ton GKG per hektar. Angka ini akan sangat membantu pencapaian target Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) di daerah. Selain hasil produksinya tergolong tiggi harga beras hasil SRI organik pun mahal, paling tidak Rp 7.000 per kilogram sudah pasti akan didapat oleh petani.
Penerapan metode budidaya padi sawah SRI yang paling menarik adalah bertumpu pada proses bukan pada hasil. Ketertarikan saya untuk menekuni metode SRI diawali perkenalan saya pertama kali dengan seorang dosen senior Teknik Kimia ITB, yaitu Bapak Dr. Mubiar Purwasasmita. Saya mengetahui dan mendalami metode ini karena motivasi dan dorongan dari beliau yang terus-menerus memberi pemahaman kepada saya tentang SRI. Hal paling menarik dalam sistem ini menurut beliau, di samping terjadi banyak penghematan dan efisiensi mulai dari penggunaan bibit, pupuk dan antihama kimia, sampai kepada efisiensi air juga terjadi penghematan dalam hal pembiayaan oleh petani. Betapa tidak, karena metode ini memberikan penghematan dalam ongkos produksi yang otomatis dapat mengurangi budget petani dalam memproduksi beras yang baik.
Metode SRI dengan pengunaan kompos sebagai pupuk dasar utama sebagai pengganti pupuk kimia yang banyak digunakan petani secara membabi-buta, akan memberikan ruang hidup yang nyaman bagi jutaan mikroorganisme tanah termasuk juga cacing dan serangga lain yang perannya sangat krusial dalam ekosistem tanah, ekosistem sawah dan untuk tanaman padi itu sendiri. Bahwa hasil berlipat seperti yang kami dapatkan selama ini, semata-mata karena proses yang benar telah dilakukan petani dengan memperhatikan keberlangsungan kehidupan dalam suatu ekosistem sawah.
Fenomena SUPERTOY HL-2 adalah sebuah kesalahan besar yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Presiden SBY dan Staf Khususnya. Teknologi pertanian yang bertumpu semata-mata kepada hasil dengan mengabaikan proses, adalah pekerjaan sia-sia dan tanpa perhitungan. Boleh jadi benih padi SUPERTOY adalah benih yang bagus dengan kualitas seperti yang dipromosikan. Tetapi, benih yang bagus kalau tidak diaplikasikan dengan teknik budidaya yang baik apalagi dengan mengesampingkan proses produksinya dan tidak memperhitungakan kuasa Yang Maha Kuasa, yaitu faktor cuaca dan musim, maka tunggulah akibat buruk yang akan menimpa.
Belajar dari kasus SUPERTOY, saya banyak mempertimbangkan teknologi SRI yang mulai saya tekuni sejak 2006 yang lalu. Faktor produksi dan kelestarian alam dengan mengakomodasi kekuatan dan potensi lokal merupakan kekuatan kami dalam melakukan inovasi SRI di lapangan.
Bahwa hasil panen yang berlipat bukan merupakan tujuan utama dalam pelaksanaan kegiatan SRI. Proses SRI yang benar dan konsisten pelan-pelan kami tumbuh kembangkan ke petani-petani binaan. Petani MANDIRI adalah tujuan sesungguhnya dari setiap demplot atau demarea yang kami lakukan.
Petani MANDIRI adalah ketika petani sudah tidak pusing memikirkan kenaikan dan kelangkaan pupuk dan obat kimia, karena mereka sudah mempunyai pengetahuan untuk memproduksinya sendiri. Petani MANDIRI adalah ketika petani sudah tidak hirau dengan kondisi air sawah yang fluktuatif debitnya, karena SRI dikenal dengan metode irit air, yaitu hanya 40% saja penmanfaatnya di lahan sawah. Petani MANDIRI adalah ketika petani sudah tidak peduli dengan harga gabah atau beras yang naik turun di pasaran, karena gabah dan beras berkualitas yang mereka hasilkan sudah pasti mendapatkan harga yang layak dan pasti dengan standar organik dari konsumen tetapnya. Petani MANDIRI adalah ketika petani sudah tidak menggantungkan hidup keluarganya kepada lintah darat, bandar dan orang jahat berkalung riba yang menjerat kehidupan keluarganya.
Petani MANDIRI semacam inilah yang akan kami bangun dengan penerapan metode SRI di seluruh Indonesia. Ketika petani-petani mandiri ini telah menyebar, bisa dibayangkan kekuatan ekonomi pedesaan akan menjelma menjadi kekuatan ekonomi nasional yang dapat mengendalikan stok dan harga pangan di Indonesia, amin...
(*Kabelan Kunia, Penggiat dan pemberdaya petani SRI)
Senin, 22 September 2008
Selasa, 09 September 2008
Supertoy, Isyarat Pemimpin Bak Seekor Keledai
Oleh Kabelan Kunia
Ingat pepatah "Bak keledai yang terperosak dalam lubang yang sama dua kali". Barangkali pepatah ini sangat relevan sekali dengan peristiwa yang dialami Presiden SBY dalam kurun waktu satu tahun belakang ini.
Belumlah usai polemik Blueenergi yang dimotori oleh Mr. Joko Suprapto dengan rekayasa mesin dan Bahan Bakar Alternatif dari air (Banyugeni) yang menghebohkan beberapa bulan yang lalu. Kini, SBY dan staf khususnya yang juga khusus membuat 'onar' dan sensasi dengan memprakarsai padi Supertoy HL-2 yang menimbulkan masalah dan polemik yang berkepanjangan.
Dua peristiwa unik dan bodoh ini menurut saya patut disikapi oleh pemerintah dan kita tentunya sebagai bangsa. Karena ambisi ingin segera membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju, bangsa yang besar dan bangsa yang unggul dalam teknologi, terkadang kita menjadi lupa diri. Kita dalam hal ini pemerintah terjebak dengan hasil bukan proses. Sangat mengimpikan bangsa ini beranjak dari keterbelakangan dan keterpurukan, jalan pintas dan budaya instan ditempuh oleh pengelola pemerintahan untuk segera menuntaskannya. Apa lacur, alih-alih kemakmuran dan kesejahteraan yang terwujud, malapetaka dan kehancuran yang datang. Peristiwa memalukan ini sangat mencoreng kredibilitas SBY dan pemerintah yang dipimpinnya. Tidak tanggung-tanggung, konon Mr. Joko Suprapto langsung didatangkan ke hadapan presiden dan delegasi negara peserta konfrensi lingkungan di Bali beberapa waktu lalu untuk mempresentasikan 'rekayasa' riset yang dia temukan.
Fenomena Blueenergi dan Supertoy menjadi menarik ketika kita membicarakan kajian ilmiah dan etika riset yang dijunjung tinggi sebagian besar ilmuwan dan peneliti dimanapun. Sebuah penelitian yang bagus, pasti didasasarkan dari riset yang panjang mulai dari hulu sampai ke hilir, mulai dari dasar yang kita kenal sebagai penelitian dasar sampai kepada aplikasi atau menghasilkan produk. Tahapan ilmiah perlu dilakukan untuk membuktikan bahwa sebuah penelitian layak atau tidak untuk diterapkan kepada masyarakat. Kajian ilmiah ini umumnya dilakukan oleh ilmuwan atau peneliti di lembaga atau universitas riset. Tidak menutup kemungkinan bahwa sebuah inovasi riset dihasilkan dari seseorang atau lembaga di luar institusi resmi. Tetapi inovasi tersebut tetap saja harus melalui kajian yang mendalam dalam aspek ilmiahnya.
Menarik ketika mendapatkan kenyataan bahwa sebuah inovasi yang dihasilkan oleh anak bangsa, kemudian diterima oleh pemerintah tanpa terlebih dahulu mengkonfirmasikan ke instansi atau lembaga terkait. Lembaga kepresiden seolah memiliki sebuah lembaga baru yang tersembunyi dan kebijakannya melangkahi semua departemen yang ada dalam pemerintahan itu sendiri. Kita lihat, kasus blueenergi, presiden lebih percaya kepada staf khususnya ketimbang meminta konfirmasi kepada menteri terkait seperti Menteri ESDM dan Menteri Ristek. Demikian juga dengan polemik Supertoy, presiden dengan bangga menunjuk staf khusus beliau yang tadinya telah menjerumuskannya dalam kasus blueenrgi, ketimbang menyerahkan wewenang kepada menteri pertanian atau menteri Ristek.
Lantas, apa kerja para menterinya kalau semua pekerjaan, proyek besar semua ditangani oleh staf khusus. Kalo gitu yah, bubarkan saja para menterinya. Bentuk saja staf-staf khusus yang permanen untuk semua bidang yang dia perlukan.
Tapi yang jelas, saya masih percaya dengan pepatah di atas. Karena bodohnya keledai, pasti ia akan terjatuh lagi ke lubang yang sama.
Ingat pepatah "Bak keledai yang terperosak dalam lubang yang sama dua kali". Barangkali pepatah ini sangat relevan sekali dengan peristiwa yang dialami Presiden SBY dalam kurun waktu satu tahun belakang ini.
Belumlah usai polemik Blueenergi yang dimotori oleh Mr. Joko Suprapto dengan rekayasa mesin dan Bahan Bakar Alternatif dari air (Banyugeni) yang menghebohkan beberapa bulan yang lalu. Kini, SBY dan staf khususnya yang juga khusus membuat 'onar' dan sensasi dengan memprakarsai padi Supertoy HL-2 yang menimbulkan masalah dan polemik yang berkepanjangan.
Dua peristiwa unik dan bodoh ini menurut saya patut disikapi oleh pemerintah dan kita tentunya sebagai bangsa. Karena ambisi ingin segera membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju, bangsa yang besar dan bangsa yang unggul dalam teknologi, terkadang kita menjadi lupa diri. Kita dalam hal ini pemerintah terjebak dengan hasil bukan proses. Sangat mengimpikan bangsa ini beranjak dari keterbelakangan dan keterpurukan, jalan pintas dan budaya instan ditempuh oleh pengelola pemerintahan untuk segera menuntaskannya. Apa lacur, alih-alih kemakmuran dan kesejahteraan yang terwujud, malapetaka dan kehancuran yang datang. Peristiwa memalukan ini sangat mencoreng kredibilitas SBY dan pemerintah yang dipimpinnya. Tidak tanggung-tanggung, konon Mr. Joko Suprapto langsung didatangkan ke hadapan presiden dan delegasi negara peserta konfrensi lingkungan di Bali beberapa waktu lalu untuk mempresentasikan 'rekayasa' riset yang dia temukan.
Fenomena Blueenergi dan Supertoy menjadi menarik ketika kita membicarakan kajian ilmiah dan etika riset yang dijunjung tinggi sebagian besar ilmuwan dan peneliti dimanapun. Sebuah penelitian yang bagus, pasti didasasarkan dari riset yang panjang mulai dari hulu sampai ke hilir, mulai dari dasar yang kita kenal sebagai penelitian dasar sampai kepada aplikasi atau menghasilkan produk. Tahapan ilmiah perlu dilakukan untuk membuktikan bahwa sebuah penelitian layak atau tidak untuk diterapkan kepada masyarakat. Kajian ilmiah ini umumnya dilakukan oleh ilmuwan atau peneliti di lembaga atau universitas riset. Tidak menutup kemungkinan bahwa sebuah inovasi riset dihasilkan dari seseorang atau lembaga di luar institusi resmi. Tetapi inovasi tersebut tetap saja harus melalui kajian yang mendalam dalam aspek ilmiahnya.
Menarik ketika mendapatkan kenyataan bahwa sebuah inovasi yang dihasilkan oleh anak bangsa, kemudian diterima oleh pemerintah tanpa terlebih dahulu mengkonfirmasikan ke instansi atau lembaga terkait. Lembaga kepresiden seolah memiliki sebuah lembaga baru yang tersembunyi dan kebijakannya melangkahi semua departemen yang ada dalam pemerintahan itu sendiri. Kita lihat, kasus blueenergi, presiden lebih percaya kepada staf khususnya ketimbang meminta konfirmasi kepada menteri terkait seperti Menteri ESDM dan Menteri Ristek. Demikian juga dengan polemik Supertoy, presiden dengan bangga menunjuk staf khusus beliau yang tadinya telah menjerumuskannya dalam kasus blueenrgi, ketimbang menyerahkan wewenang kepada menteri pertanian atau menteri Ristek.
Lantas, apa kerja para menterinya kalau semua pekerjaan, proyek besar semua ditangani oleh staf khusus. Kalo gitu yah, bubarkan saja para menterinya. Bentuk saja staf-staf khusus yang permanen untuk semua bidang yang dia perlukan.
Tapi yang jelas, saya masih percaya dengan pepatah di atas. Karena bodohnya keledai, pasti ia akan terjatuh lagi ke lubang yang sama.
SuperLetoy HL-2 (Supertoy ding, sorry), Siapa yang Bertanggungjawab?
Oleh Kabelan Kunia
Beberapa hari terakhir kita disibukkan dengan berita yang cukup mengenaskan hati, tragedi padi Supertoy HL-2 di beberapa wilayah di Jawa Tengah.
Lagi-lagi masalah ini mengkaitkan dengan kebiasaan presiden kita SBY yang gandrung tebar pesona dengan berbagai proyek yang diproyeksi dapat mengangkat popularitas, lebih-lebih menjelang April 2009.
Sebenarnya saya tidak tertarik untuk membahas masalah ini. Tapi, saya agak 'gatal' karena melihat banyak sekali korban yang tak berdaya, yaitu masyarakat kecil alias petani dalam kasus ini. Bayangkan, dengan kondisi normal saja petani kita sudah tidak dapat dikatakan hidup normal dengan pendapatan mereka yang minus. Ditambah himpitan hidup yang kian mendesak, minyak tanah langka dan mahal, gas tidak punya, kalaupun dapat jatah dari pemerintah, selanjutnya mereka tidak bisa membeli gas yang harganya kian meroket tanpa kompromi.
Tiba-tiba datang malaikat penolong, seolah-olah menawarkan sorga yang terang-benderang dengan mengatasnamakan Staf Khusus Presiden RI. Janji mulai ditebarkan. Bibit Supertoy HL-2mulai disemai yang katanya super karena dapat dipanen tiga kali dalam setahun tanpa melakukan penanaman berulang dengan hasil mencapai 13 ton/ hektar.
Ah, siapa orang yang tidak tergiur dan percaya. Utusan pemerintah gitu loh.....
Aduh, rakyatku yang malang, rupanya engkau masuk dalam perangkap dan jebakan orang yang tidak bertanggungjawab.
Konon, pada panen perdana yang penuh seremonial oleh Bapak SBY, dilaporkan varietas Super ini hanya memproduksi padi 7,3 ton/hektar saja. Nah, pada penen kedua yang menghebohkan karena amuk petani sudah tidak dapat dibendung, gagal total alias tidak berproduksi.
Setelah semua terjadi, siapa yang bertanggungjawab. Pemerintah jelas-jelas dari beberapa kali pernyataan tidak bertanggungjawab. SBY lewat juru bicarannya merasa tidak terlibat. Pemerintah dalam hal ini Deptan lewat menterinya, merasa kecolongan dan tidak pernah diminta oleh panpel atau SBY sendiri ngurusi ujicoba varietas padi baru ini.
Nah, lho, siapa yang dapat bantu petani kita yang ketiban sial? Beginikah presiden kita yang hebat dan pemerintah kita yang amburadul ini bersikap? Gampang sekali melempar tanggungjawab setelah keringat rakyat kecil disedot lewat proyek yang tidak jelas ini?
Saya yakin, kalaulah proyek ini sukses, bisa dibayangkan akan banyak sekali orang yang ngacungin telunjuk karena merasa mereka yang paling berjasa mensukseskan proyek ini. Sudah barang tentu presiden kita dengan bangga menyampaikan pidoto kenegaraan di depan sidang paripurna DPR/ MPR di Senayan sana atau mungkin buru-buru kontak ke PBB untuk pidoto di markasnya di Washington sana.
Tapi, nasi sudah jadi bubur. Rupanya pejabat dan pemimpin kita tidak belajar dari pengalaman, termasuk pengalaman pahit sekalipun. Rupanya Presiden SBY dan timnya tidak belajar dari kasus Blueenergi Mr. Joko Suprapto yang jelas-jelas mengkadali lembaga kepresidenan.
Nah, kalo udah begini, kita harus bertanya, pantas tidak pemimpin berprilaku instan memimpin bangsa yang ingin maju tapi dengan cara yang tidak benar. Jawabannya kita tunggu April 2009.
*Penggiat dan praktisi padi organik SRI,
Beberapa hari terakhir kita disibukkan dengan berita yang cukup mengenaskan hati, tragedi padi Supertoy HL-2 di beberapa wilayah di Jawa Tengah.
Lagi-lagi masalah ini mengkaitkan dengan kebiasaan presiden kita SBY yang gandrung tebar pesona dengan berbagai proyek yang diproyeksi dapat mengangkat popularitas, lebih-lebih menjelang April 2009.
Sebenarnya saya tidak tertarik untuk membahas masalah ini. Tapi, saya agak 'gatal' karena melihat banyak sekali korban yang tak berdaya, yaitu masyarakat kecil alias petani dalam kasus ini. Bayangkan, dengan kondisi normal saja petani kita sudah tidak dapat dikatakan hidup normal dengan pendapatan mereka yang minus. Ditambah himpitan hidup yang kian mendesak, minyak tanah langka dan mahal, gas tidak punya, kalaupun dapat jatah dari pemerintah, selanjutnya mereka tidak bisa membeli gas yang harganya kian meroket tanpa kompromi.
Tiba-tiba datang malaikat penolong, seolah-olah menawarkan sorga yang terang-benderang dengan mengatasnamakan Staf Khusus Presiden RI. Janji mulai ditebarkan. Bibit Supertoy HL-2mulai disemai yang katanya super karena dapat dipanen tiga kali dalam setahun tanpa melakukan penanaman berulang dengan hasil mencapai 13 ton/ hektar.
Ah, siapa orang yang tidak tergiur dan percaya. Utusan pemerintah gitu loh.....
Aduh, rakyatku yang malang, rupanya engkau masuk dalam perangkap dan jebakan orang yang tidak bertanggungjawab.
Konon, pada panen perdana yang penuh seremonial oleh Bapak SBY, dilaporkan varietas Super ini hanya memproduksi padi 7,3 ton/hektar saja. Nah, pada penen kedua yang menghebohkan karena amuk petani sudah tidak dapat dibendung, gagal total alias tidak berproduksi.
Setelah semua terjadi, siapa yang bertanggungjawab. Pemerintah jelas-jelas dari beberapa kali pernyataan tidak bertanggungjawab. SBY lewat juru bicarannya merasa tidak terlibat. Pemerintah dalam hal ini Deptan lewat menterinya, merasa kecolongan dan tidak pernah diminta oleh panpel atau SBY sendiri ngurusi ujicoba varietas padi baru ini.
Nah, lho, siapa yang dapat bantu petani kita yang ketiban sial? Beginikah presiden kita yang hebat dan pemerintah kita yang amburadul ini bersikap? Gampang sekali melempar tanggungjawab setelah keringat rakyat kecil disedot lewat proyek yang tidak jelas ini?
Saya yakin, kalaulah proyek ini sukses, bisa dibayangkan akan banyak sekali orang yang ngacungin telunjuk karena merasa mereka yang paling berjasa mensukseskan proyek ini. Sudah barang tentu presiden kita dengan bangga menyampaikan pidoto kenegaraan di depan sidang paripurna DPR/ MPR di Senayan sana atau mungkin buru-buru kontak ke PBB untuk pidoto di markasnya di Washington sana.
Tapi, nasi sudah jadi bubur. Rupanya pejabat dan pemimpin kita tidak belajar dari pengalaman, termasuk pengalaman pahit sekalipun. Rupanya Presiden SBY dan timnya tidak belajar dari kasus Blueenergi Mr. Joko Suprapto yang jelas-jelas mengkadali lembaga kepresidenan.
Nah, kalo udah begini, kita harus bertanya, pantas tidak pemimpin berprilaku instan memimpin bangsa yang ingin maju tapi dengan cara yang tidak benar. Jawabannya kita tunggu April 2009.
*Penggiat dan praktisi padi organik SRI,
Langganan:
Postingan (Atom)