Oleh KABELAN KUNIA
Indonesia merupakan salah satu negara terkaya akan plasma nutfah, termasuk mikroorganisme yang hidup dan berkembang biak di tanah nusantara nan subur. Negara yang kaya ini memiliki sekurangnya 10 ribu jenis mikroorganisme yang diperkirakan hidup secara alami dalam ekosistem yang “ramah” untuk berkembangbiak.
Mikroorganisme merupakan mahluk hidup yang mudah beranak-pinak dan berpotensi untuk menghasilkan berbagai produk bernilai ekonomis tinggi bagi manusia, misalnya antibiotik, vaksin dan enzim. Potensi ini dapat termanfaatkan manakala manusia dapat “membujuk” mikroorganisme ini guna menghasilkan apa yang diharapkan.
Berdasarkan potensi yang dimiliki mikroorganisme, menyebabkan mereka banyak diisolasi dari berbagai sumber habitat alaminya. Kemudian digali, dipelajari serta dianalisis kemampuanya untuk diaplikasikan menghasilkan produk yang bernilai guna secara ekonomis demi keberlangsungan hidup manusia.
Konservasi
Masalah konservasi mikroorganisme telah menjadi isu yang hangat berbagai belahan dunia. Kiranya perlu upaya penyelamatan mikroorganisme khususnya strain lokal agar dapat dimanfaatkan saat ini dan di masa yang akan datang. Dengan sifatnya yang menarik, unik dan potensial, mikroorganisme yang pernah digunakan pada suatu penelitian adakalanya ingin dimanfaatkan lebih lanjut untuk penelitian pengembangan berikutnya.
Upaya penyelamatan mikroorganisme lokal memerlukan peran serta berbagai pihak. Kekayaan mikroorganisme yang melimpah di samping harus dapat dimanfaatkan dalam penelitian-penelitian guna menghasilkan suatu produk yang nantinya dapat memberikan kemashalatan terbesar bagi manusia, namun kelestariannya harus dapat dijaga dan terpelihara. Apapun caranya, keberadaan mikroorganisme lokal ini senantiasa dapat terjamin, baik itu dengan memanfaatkan koleksi kultur di laboratorium-laboratorium di berbagai Perguruan Tinggi maupun di lembaga-lembaga penelitian pemerintah lainnya. Penyelamatan mikroorganisme ini dapat juga dilakukan dengan memantau kehadiran turis-turis asing yang mengadakan penelitian “illegal” di berbagai tempat di negara kita ini.
Penulis ingin mengungkapkan bahwa banyak kejadian misalnya orang asing dengan visa turis biasa yang berkunjung ke berbagai tempat di Indonesia kemudian melakukan penjelajahan untuk mendapatkan berbagai informasi dari berbagai penduduk dimana mereka berkunjung. Dengan keluguan dan kejujuran, penduduk kemudian memberikan segala informasi bermanfaat kepada mereka. Misalkan tentang manfaat suatu tumbuhan tertentu yang dapat mengobati beberapa penyakit. Kemudian turis tersebut dengan sopannya meminta dan memetik daun tumbuhan yang dimaksud kemudian dibawa ke negara asalnya. Dengan teknik kultur jaringan sangat memungkinkan selembar daun yang dibawa tadi dapat ditumbuhkan di negara asalnya, sehingga jadilah tumbuhan yang utuh. Kemudian tumbuhan tersebut diteliti dengan teknik dan alat yang super canggih. Lantas mereka mengklaim bahwa mereka menemukan obat atau apapun dari tumbuhan tersebut lalu dipatenkan.
Hal seperti ini dapat juga dilakukan dengan sumber daya mikroorganisme kita yang melimpah. Mereka dapat saja mengambil segenggam tanah dari berbagai habitat kemudian dibawa ke negaranya. Sebanyak 2 gram sampel tanah memiliki tidak kurang dari seratus jenis mikroorganisme yang tumbuh dengan baik. Dapat dibayangkan dengan segenggam tanah yang mereka pungut dari bumi kita yang kaya, mereka dengan leluasa meneliti dan memiliki koleksi mikroorganisme yang mempunyai kemampuan spesifik untuk menghasilkan produk tetentu. Lagi-lagi mereka kemudian mengklaim produk tersebut lewat paten yang merupakan senjata buat mereka untuk “menjajah” bangsa terbelakang yang ketinggalan ipteknya.
Koleksi Kultur
Mikroorganisme merupakan ‘bahan mentahnya’nya suatu produk bioteknologi. Bioteknologi sebagai ilmu yang terus berkembang senantiasa menggunakan mikroorganisme di samping tanaman dan hewan untuk menghasilkan produk yang bermanfaat atau untuk perbaikan spesies.
Kenyataan ini yang menjadikan perlunya koleksi kultur mikroorganisme. Koleksi kultur mensyaratkan penyimpanan mikroorganisme secara baik dan benar agar dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama dengan resiko terjadinya perubahan sifat dan potensi yang seminimal mungkin.
Koleksi kultur ini diharapkan dapat mengisolasi dan mengidentifikasi potensi mikroorganisme strain lokal yang dikoleksi dari berbagai habitat di seluruh Indonesia, menyimpan dan memilhara kultur mikroorganisme dalam jangka panjang serta dapat melakukan pertukaran koleksi dengan berbagai lembaga atau laboratorium koleksi baik di dalam maupun di luar negeri.
Di samping itu koleksi kultur mikroorganisme ini dapat dijadikan suatu kegiatan untuk dapat menyelamatkan mikroorganisme lokal yang sudah barang tentu merupakan upaya pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia. Kelestarian keanekaragaman mikroorganisme ini tentunya akan menjamin keberlangsungan kehidupan mikroorganisme yang tidak hanya dapat dimanfaatkan pada saat ini namun dapat menjamin kelestariannya untuk dimanfaatkan pada masa yang akan datang.
Kiranya sebagai bangsa kita tidak ingin keanekaragaman hayati termasuk keragaman mikroorganisme yang tumbuh dan berkembang dengan nyaman dalam habitatnya yang kondusif, tiba-tiba diusik lalu dicuri oleh orang asing yang tidak bertanggung jawab. Kemudian mikroorganisme tersebut diakui sebagai milik mereka yang sedikit pun tidak memberikan kemanfaatan kepada rakyat kita yang dengan ikhlasnya memberikan segalanya.
Hampir di berbagai laboratorium di banyak negara di dunia telah mempunyai koleksi kultur mikroorganisme. Kebanyakan kulturnya menyimpan mikroorganisme yang khas dan spesifik. Pertanyaannya kemudian apakah kita yang mengaku mempunyai kekayaan mikroorganisme yang melimpah dan potensial telah memiliki koleksi kultur ini? Lalu siapkah kita melakukan pertukaran kultur antar koleksi kultur dengan koleksi kultur di luar? Sanggupkah kita memelihara dan melestarikan kekayaan mikroorganisme yang kita miliki?
Berbagai pertanyaan akan terkuak menandakan kompleksnya permasalahan yang kita hadapi. Namun bilamana kita hanya terpaku kepada kendala klasik yang dihadapi tanpa berbuat sesuatu, niscaya kita akan kehilangan peluang sejalan dengan raibnya kekayaan yang kita banggakan itu. Mungkin kini saatnya kita harus berbuat. Yakinlah bahwa masalah senantiasa menghadang apapun dan bagaimanapun kondisi bangsa kita. (***)
*) Kabelan Kunia, Staf pada Biotechnology Research Center – ITB
Sabtu, 22 November 2008
Hama dan Insektisida Mikroba
Oleh : KABELAN KUNIA*
Artikel ini telah diterbitkan di Harian Sriwijaya Post, Minggu, 15 September 2002
HAMA merupakan salah satu faktor pembatas yang menghambat peningkatan produksi tanaman pertanian. Berbagai jenis organisme pengganggu yang dikenal sebagai hama telah banyak ditemukan di lahan pertanian. Hama pengganggu ini umumnya berupa serangga, seperti belalang, tungau, kumbang, kupu-kupu dan sebagainya.
Pada tingkat petani, pengendalian hama pengganggu ini seringkali dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis insektisida kimia yang sesuai untuk hama tertentu. Hal ini dilakukan manakala cara manual maupun cara lainnya kurang efektif mengingat serangan hama yang semakin meluas dan parah hingga dapat merugikan secara ekonomis.
Cara pemberantasan hama yang semata-mata hanya didasarkan atas penggunaan insektisida kimia apalagi dilakukan secara berlebihan, dapat menimbulkan berbagai masalah yang tidak diinginkan. Dampak yang muncul misalnya terjadinya resistensi (kekebalan) pada hama sasaran, munculnya hama-hama sekunder, merusak lingkungan bahkan lebih jauh lagi dapat menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan ekosistem. Kemungkinan juga dapat berefek tidak baik bagi kesehatan petani itu sendiri, karena terhirup atau terhisap insektisida tersebut.
Banyaknya permasalahan serta dampak negatif yang ditimbulkan terhadap penggunaan insektisida kimia, kiranya upaya terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan sistem pengendalian hama terpadu (PHT) yang melibatkan pengendalian serangga pengganggu secara kimiawi, biologis, kultur teknis dan penggunaan varietas resisten terhadap hama tertentu.
Pengendalian Biologis
Pengendalian biologis merupakan sebuah bentuk pengendalian populasi hama menggunakan organisme untuk mengurangi populasi tumbuhan atau hewan yang merugikan secara ekonomis. Pengendalian biologis merupakan salah satu aspek dari mekanisme pengendalian hama terpadu.
Pengendalian secara biologis sesungguhnya sudah terjadi secara alami yang melibatkan adanya mekanisme alam, sehingga dapat berfungsi mengembalikan keseimbangan ekosistem. Di samping aspek keseimbangan ekosistem, penerapan sistem pengendalian biologis dipandang perlu, karena apabila dibandingkan dengan pengendalian secara kimiawi mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya; biaya pemakaian relatif lebih murah, lebih spesifik, sarana pengendalian dapat dikembangkan di lapangan oleh petani dan dapat bersifat permanen.
Walaupun demikian bukan berarti pengendalian secara kimiawi tidak penting, karena dalam penerapan pengelolaan hama terpadu, di samping penerapan secara biologis dan kultur teknis, penggunaan insektisida kimiawi juga masih diperlukan secara selektif dengan mempertimbangkan waktu dan cara yang tepat.
Insektisida Mikroba
Pengendalian secara biologis dapat menggunakan berbagai organisme, misalnya parasitoid, predator maupun mikroorganisme patogen seperti jamur, bakteri bahkan virus. Banyak mikroorganisme yang telah diisolasi dari serangga hama, tapi hanya beberapa jenis yang terbukti berpotensi dapat dikembangkan sebagai insektisida potensial. Hal ini karena pertimbangan keamanan dan efektivitas dalam mengatasi serangga hama.
Dalam tulisan ini penulis sengaja ingin memaparkan mengenai insektisida mikroba yang masih jarang digunakan namun telah banyak tersedia di pasaran. Insektisida mikroba merupakan agen pengendali hama serangga yang menyebabkan penyakit dan pada akhirnya menyebabkan kematian pada serangga hama. Mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan mampu untuk bertahan lama dan membatasi populasi serangga hama untuk periode yang lama.
Keuntungan menggunakan insektisida mikroba diantaranya adalah keamanan, karena memiliki derajat spesifisitas yang tinggi. Keuntungan lainnya bahwa relatif kecil terjadinya resistensi (kekebalan) pada serangga hama, sehingga dapat digunakan pada situasi dimana insektisida kimiawi sudah tidak efektif lagi. Di samping itu insektisida mikroba dapat dengan mudah didapatkan di pasaran dan harganya relatif murah dibandingkan dengan insektisida kimia.
Walaupun spesifikasi merupakan keuntungan sebagai syarat keamanan, namun hal itu juga merupakan kerugian pada beberapa hama pertanian tertentu, karena hama serangga yang tidak terbunuh oleh insektisida mikroba ini akan terus berkembang dan suatu saat dapat menjadi hama yang potensial. Kerugian lainnya adalah beberapa insektisida mikroba lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti misalnya suhu, kelembaban dan cahaya matahari. Pengetahuan ekologi mikroba dan hama adalah penting untuk kesuksesan penggunaan insektisida mikroba di lapangan.
Di samping itu faktor keengganan petani memakai bahan biologi untuk melindungi tanamaan dari serangan hama antara lain karena keterbatasan daya kerja insektisida biologi tersebut. Insektisida biologi kerjanya spesifik, yaitu membunuh serangga jenis tertentu saja. Tidak seperti insektisida kimia yang membasmi dengan cepat, termasuk predator dan parasitoid hama yang sebenarnya bermanfaat karena berfungsi sebagai pengendali populasi hama secara alami (Kompas, 13/11/2001).
Syarat apabila akan menggunakan jasad mikroba sebagai sumber pengendalian biologis, yaitu mikroba tersebut harus mempunyai daur hidup yang panjang, mampu mempertahankan virulensinya di lapangan dan terutama tidak patogenik (berbahaya) pada manusia, tanaman, hewan dan serangga berguna lainnya.
Berbicara mengenai pengendalian biologis atau bioinsektisida, senantiasa dikaitkan dengan keberhasilan bakteri Bacillus thuringiensis atau sering disingkat Bt, sebagai “raja”nya bioinsektisida. Selama kurun waktu 30 tahun lebih Bt, bakteri dengan kemampuan sebagai insektisida yang luar biasa dalam mengendalikan hama utama dalam dunia pertanian. Sebagai bioinsektisida, Bt adalah suatu fenomena yang merupakan satu-satunya bakteri dengan penggunaan dan penyebarannya secara komersial telah berhasil luar biasa, sehingga membuatnya bagaikan monopoli mikroba dalam bisnis pengendalian hama yang bernilai ratusan juta dolar AS.
Namun baru-baru ini tim ilmuwan dari laboratorium di Universitas Wisconsin-Madison yang bekerja sama dengan ilmuwan DowElanco di Indianapolis, telah menemukan bakteri baru yang memiliki kemampuan membunuh hama tertentu. Bakteri tersebut adalah Photorhabdus luminescens, mengandung racun yang terbukti ampuh membunuh berbagai serangga mulai dari kecoa sampai kumbang penggerek buah kapas serta mampu menjadi bioinsektisida yang ampuh, aman dan tidak mengganggu lingkungan (Kompas, 1998).
Ratusan genera jamur telah dilaporkan dapat menginfeksi serangga hama, beberapa diantaranya adalah : Aspergillus, Beauveria, Cordyceps, Entomophthora, Hirsutella, Isaria, Metarrhizium, Paecilomyces, Septobasidium dan Spicaria. Bahkan beberapa jamur telah dikembangkan secara komersial sebagai insektisida mikroba adalah : Beauveria bassiana dengan nama dagang Boverin, Metharrhizium anisopliae dengan merek dagang Metaquino dan Verticillium leucanii dengan nama dagang Mycotal dan Vertalec.
Baculovirus merupakan kelompok virus yang sedang diteliti dan dikembangkan sebagai bioinsektisida untuk memberantas serangga penggerek jagung, kumbang kentang, kutu dan kumbang daun. Salah satu jenis dari Baculovirus adalah virus yang dikenal sebagai NPV (Nuclear Polyhedrosis Virus). Sebagian besar jenis virus NPV dijumpai sebagai penyebab penyakit pada larva serangga Lepidoptera, Heminoptera, Diptera dan Coleoptera. Sebagai contoh misalnya yang menyerang ulat Grayak (Pseudaletia unipunta) dan hama pada kapas (Heliothis zea). Virus lainnya dari kelompok Baculovirus ini adalah entomopox yang sedang dikembangkan untuk mengurangi laju perkembangan populasi belalang.
Penggunaan virus sebagai bioinsektisida untuk pertama kali dimulai sekitar tahun 1960-an untuk mengendalikan hama Trichoplusiani di California. Sampai saat ini penggunaan virus sebagai bioinsektisida semakin berkembang dan makin banyak virus potensial untuk dikembangkan sebagai mikroorganisme yang dapat mengendalikan populasi hama.
Pengendalian hama dengan menggunakan musuh alami eksotik, atau musuh alami yang didatangkan dari luar, seringkali menimbulkan masalah tertentu. Permasalahan yang terjadi misalnya, musuh alami tersebut kurang adaptif terhadap lingkungannya yang baru atau belum tentu cocok dengan inang (hama) yang ada, sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat mengendalikan hama di lapangan.
Oleh karenanya upaya pencarian strain-strain baru mikroba entomopatogen lokal perlu dilakukan untuk dapat meningkatkan pengendalian serangga hama secara biologis sebagai alternatif pengganti insektisida kimia.
*) Kabelan Kunia, M.Si., Staf pada Biotechnology Research Center -ITB
Artikel ini telah diterbitkan di Harian Sriwijaya Post, Minggu, 15 September 2002
HAMA merupakan salah satu faktor pembatas yang menghambat peningkatan produksi tanaman pertanian. Berbagai jenis organisme pengganggu yang dikenal sebagai hama telah banyak ditemukan di lahan pertanian. Hama pengganggu ini umumnya berupa serangga, seperti belalang, tungau, kumbang, kupu-kupu dan sebagainya.
Pada tingkat petani, pengendalian hama pengganggu ini seringkali dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis insektisida kimia yang sesuai untuk hama tertentu. Hal ini dilakukan manakala cara manual maupun cara lainnya kurang efektif mengingat serangan hama yang semakin meluas dan parah hingga dapat merugikan secara ekonomis.
Cara pemberantasan hama yang semata-mata hanya didasarkan atas penggunaan insektisida kimia apalagi dilakukan secara berlebihan, dapat menimbulkan berbagai masalah yang tidak diinginkan. Dampak yang muncul misalnya terjadinya resistensi (kekebalan) pada hama sasaran, munculnya hama-hama sekunder, merusak lingkungan bahkan lebih jauh lagi dapat menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan ekosistem. Kemungkinan juga dapat berefek tidak baik bagi kesehatan petani itu sendiri, karena terhirup atau terhisap insektisida tersebut.
Banyaknya permasalahan serta dampak negatif yang ditimbulkan terhadap penggunaan insektisida kimia, kiranya upaya terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan sistem pengendalian hama terpadu (PHT) yang melibatkan pengendalian serangga pengganggu secara kimiawi, biologis, kultur teknis dan penggunaan varietas resisten terhadap hama tertentu.
Pengendalian Biologis
Pengendalian biologis merupakan sebuah bentuk pengendalian populasi hama menggunakan organisme untuk mengurangi populasi tumbuhan atau hewan yang merugikan secara ekonomis. Pengendalian biologis merupakan salah satu aspek dari mekanisme pengendalian hama terpadu.
Pengendalian secara biologis sesungguhnya sudah terjadi secara alami yang melibatkan adanya mekanisme alam, sehingga dapat berfungsi mengembalikan keseimbangan ekosistem. Di samping aspek keseimbangan ekosistem, penerapan sistem pengendalian biologis dipandang perlu, karena apabila dibandingkan dengan pengendalian secara kimiawi mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya; biaya pemakaian relatif lebih murah, lebih spesifik, sarana pengendalian dapat dikembangkan di lapangan oleh petani dan dapat bersifat permanen.
Walaupun demikian bukan berarti pengendalian secara kimiawi tidak penting, karena dalam penerapan pengelolaan hama terpadu, di samping penerapan secara biologis dan kultur teknis, penggunaan insektisida kimiawi juga masih diperlukan secara selektif dengan mempertimbangkan waktu dan cara yang tepat.
Insektisida Mikroba
Pengendalian secara biologis dapat menggunakan berbagai organisme, misalnya parasitoid, predator maupun mikroorganisme patogen seperti jamur, bakteri bahkan virus. Banyak mikroorganisme yang telah diisolasi dari serangga hama, tapi hanya beberapa jenis yang terbukti berpotensi dapat dikembangkan sebagai insektisida potensial. Hal ini karena pertimbangan keamanan dan efektivitas dalam mengatasi serangga hama.
Dalam tulisan ini penulis sengaja ingin memaparkan mengenai insektisida mikroba yang masih jarang digunakan namun telah banyak tersedia di pasaran. Insektisida mikroba merupakan agen pengendali hama serangga yang menyebabkan penyakit dan pada akhirnya menyebabkan kematian pada serangga hama. Mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan mampu untuk bertahan lama dan membatasi populasi serangga hama untuk periode yang lama.
Keuntungan menggunakan insektisida mikroba diantaranya adalah keamanan, karena memiliki derajat spesifisitas yang tinggi. Keuntungan lainnya bahwa relatif kecil terjadinya resistensi (kekebalan) pada serangga hama, sehingga dapat digunakan pada situasi dimana insektisida kimiawi sudah tidak efektif lagi. Di samping itu insektisida mikroba dapat dengan mudah didapatkan di pasaran dan harganya relatif murah dibandingkan dengan insektisida kimia.
Walaupun spesifikasi merupakan keuntungan sebagai syarat keamanan, namun hal itu juga merupakan kerugian pada beberapa hama pertanian tertentu, karena hama serangga yang tidak terbunuh oleh insektisida mikroba ini akan terus berkembang dan suatu saat dapat menjadi hama yang potensial. Kerugian lainnya adalah beberapa insektisida mikroba lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti misalnya suhu, kelembaban dan cahaya matahari. Pengetahuan ekologi mikroba dan hama adalah penting untuk kesuksesan penggunaan insektisida mikroba di lapangan.
Di samping itu faktor keengganan petani memakai bahan biologi untuk melindungi tanamaan dari serangan hama antara lain karena keterbatasan daya kerja insektisida biologi tersebut. Insektisida biologi kerjanya spesifik, yaitu membunuh serangga jenis tertentu saja. Tidak seperti insektisida kimia yang membasmi dengan cepat, termasuk predator dan parasitoid hama yang sebenarnya bermanfaat karena berfungsi sebagai pengendali populasi hama secara alami (Kompas, 13/11/2001).
Syarat apabila akan menggunakan jasad mikroba sebagai sumber pengendalian biologis, yaitu mikroba tersebut harus mempunyai daur hidup yang panjang, mampu mempertahankan virulensinya di lapangan dan terutama tidak patogenik (berbahaya) pada manusia, tanaman, hewan dan serangga berguna lainnya.
Berbicara mengenai pengendalian biologis atau bioinsektisida, senantiasa dikaitkan dengan keberhasilan bakteri Bacillus thuringiensis atau sering disingkat Bt, sebagai “raja”nya bioinsektisida. Selama kurun waktu 30 tahun lebih Bt, bakteri dengan kemampuan sebagai insektisida yang luar biasa dalam mengendalikan hama utama dalam dunia pertanian. Sebagai bioinsektisida, Bt adalah suatu fenomena yang merupakan satu-satunya bakteri dengan penggunaan dan penyebarannya secara komersial telah berhasil luar biasa, sehingga membuatnya bagaikan monopoli mikroba dalam bisnis pengendalian hama yang bernilai ratusan juta dolar AS.
Namun baru-baru ini tim ilmuwan dari laboratorium di Universitas Wisconsin-Madison yang bekerja sama dengan ilmuwan DowElanco di Indianapolis, telah menemukan bakteri baru yang memiliki kemampuan membunuh hama tertentu. Bakteri tersebut adalah Photorhabdus luminescens, mengandung racun yang terbukti ampuh membunuh berbagai serangga mulai dari kecoa sampai kumbang penggerek buah kapas serta mampu menjadi bioinsektisida yang ampuh, aman dan tidak mengganggu lingkungan (Kompas, 1998).
Ratusan genera jamur telah dilaporkan dapat menginfeksi serangga hama, beberapa diantaranya adalah : Aspergillus, Beauveria, Cordyceps, Entomophthora, Hirsutella, Isaria, Metarrhizium, Paecilomyces, Septobasidium dan Spicaria. Bahkan beberapa jamur telah dikembangkan secara komersial sebagai insektisida mikroba adalah : Beauveria bassiana dengan nama dagang Boverin, Metharrhizium anisopliae dengan merek dagang Metaquino dan Verticillium leucanii dengan nama dagang Mycotal dan Vertalec.
Baculovirus merupakan kelompok virus yang sedang diteliti dan dikembangkan sebagai bioinsektisida untuk memberantas serangga penggerek jagung, kumbang kentang, kutu dan kumbang daun. Salah satu jenis dari Baculovirus adalah virus yang dikenal sebagai NPV (Nuclear Polyhedrosis Virus). Sebagian besar jenis virus NPV dijumpai sebagai penyebab penyakit pada larva serangga Lepidoptera, Heminoptera, Diptera dan Coleoptera. Sebagai contoh misalnya yang menyerang ulat Grayak (Pseudaletia unipunta) dan hama pada kapas (Heliothis zea). Virus lainnya dari kelompok Baculovirus ini adalah entomopox yang sedang dikembangkan untuk mengurangi laju perkembangan populasi belalang.
Penggunaan virus sebagai bioinsektisida untuk pertama kali dimulai sekitar tahun 1960-an untuk mengendalikan hama Trichoplusiani di California. Sampai saat ini penggunaan virus sebagai bioinsektisida semakin berkembang dan makin banyak virus potensial untuk dikembangkan sebagai mikroorganisme yang dapat mengendalikan populasi hama.
Pengendalian hama dengan menggunakan musuh alami eksotik, atau musuh alami yang didatangkan dari luar, seringkali menimbulkan masalah tertentu. Permasalahan yang terjadi misalnya, musuh alami tersebut kurang adaptif terhadap lingkungannya yang baru atau belum tentu cocok dengan inang (hama) yang ada, sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat mengendalikan hama di lapangan.
Oleh karenanya upaya pencarian strain-strain baru mikroba entomopatogen lokal perlu dilakukan untuk dapat meningkatkan pengendalian serangga hama secara biologis sebagai alternatif pengganti insektisida kimia.
*) Kabelan Kunia, M.Si., Staf pada Biotechnology Research Center -ITB
Senin, 22 September 2008
Supertoy HL-2 vs Padi SRI
Panen raya padi organik metode System of Rice Intensification (SRI) telah dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di sela-sela kunjungan ke Desa Pamoyanan, Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (Kompas,19/9).
Pola SRI sendiri merupakan perpaduan antara pembelajaran ekologi tanah dan pengendalian hama terpadu. Terdapat tiga hal yang utama dalam pola SRI organik, yakni pengelolaan tanah dan bahan organik yang sehat, pengeloaan potensi tanaman secara optimal, dan pengelolaan air yang baik dan teratur.
Produksi padi dengan metode SRI bisa mencapai 6,5-12 ton GKG per hektar. Angka ini akan sangat membantu pencapaian target Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) di daerah. Selain hasil produksinya tergolong tiggi harga beras hasil SRI organik pun mahal, paling tidak Rp 7.000 per kilogram sudah pasti akan didapat oleh petani.
Penerapan metode budidaya padi sawah SRI yang paling menarik adalah bertumpu pada proses bukan pada hasil. Ketertarikan saya untuk menekuni metode SRI diawali perkenalan saya pertama kali dengan seorang dosen senior Teknik Kimia ITB, yaitu Bapak Dr. Mubiar Purwasasmita. Saya mengetahui dan mendalami metode ini karena motivasi dan dorongan dari beliau yang terus-menerus memberi pemahaman kepada saya tentang SRI. Hal paling menarik dalam sistem ini menurut beliau, di samping terjadi banyak penghematan dan efisiensi mulai dari penggunaan bibit, pupuk dan antihama kimia, sampai kepada efisiensi air juga terjadi penghematan dalam hal pembiayaan oleh petani. Betapa tidak, karena metode ini memberikan penghematan dalam ongkos produksi yang otomatis dapat mengurangi budget petani dalam memproduksi beras yang baik.
Metode SRI dengan pengunaan kompos sebagai pupuk dasar utama sebagai pengganti pupuk kimia yang banyak digunakan petani secara membabi-buta, akan memberikan ruang hidup yang nyaman bagi jutaan mikroorganisme tanah termasuk juga cacing dan serangga lain yang perannya sangat krusial dalam ekosistem tanah, ekosistem sawah dan untuk tanaman padi itu sendiri. Bahwa hasil berlipat seperti yang kami dapatkan selama ini, semata-mata karena proses yang benar telah dilakukan petani dengan memperhatikan keberlangsungan kehidupan dalam suatu ekosistem sawah.
Fenomena SUPERTOY HL-2 adalah sebuah kesalahan besar yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Presiden SBY dan Staf Khususnya. Teknologi pertanian yang bertumpu semata-mata kepada hasil dengan mengabaikan proses, adalah pekerjaan sia-sia dan tanpa perhitungan. Boleh jadi benih padi SUPERTOY adalah benih yang bagus dengan kualitas seperti yang dipromosikan. Tetapi, benih yang bagus kalau tidak diaplikasikan dengan teknik budidaya yang baik apalagi dengan mengesampingkan proses produksinya dan tidak memperhitungakan kuasa Yang Maha Kuasa, yaitu faktor cuaca dan musim, maka tunggulah akibat buruk yang akan menimpa.
Belajar dari kasus SUPERTOY, saya banyak mempertimbangkan teknologi SRI yang mulai saya tekuni sejak 2006 yang lalu. Faktor produksi dan kelestarian alam dengan mengakomodasi kekuatan dan potensi lokal merupakan kekuatan kami dalam melakukan inovasi SRI di lapangan.
Bahwa hasil panen yang berlipat bukan merupakan tujuan utama dalam pelaksanaan kegiatan SRI. Proses SRI yang benar dan konsisten pelan-pelan kami tumbuh kembangkan ke petani-petani binaan. Petani MANDIRI adalah tujuan sesungguhnya dari setiap demplot atau demarea yang kami lakukan.
Petani MANDIRI adalah ketika petani sudah tidak pusing memikirkan kenaikan dan kelangkaan pupuk dan obat kimia, karena mereka sudah mempunyai pengetahuan untuk memproduksinya sendiri. Petani MANDIRI adalah ketika petani sudah tidak hirau dengan kondisi air sawah yang fluktuatif debitnya, karena SRI dikenal dengan metode irit air, yaitu hanya 40% saja penmanfaatnya di lahan sawah. Petani MANDIRI adalah ketika petani sudah tidak peduli dengan harga gabah atau beras yang naik turun di pasaran, karena gabah dan beras berkualitas yang mereka hasilkan sudah pasti mendapatkan harga yang layak dan pasti dengan standar organik dari konsumen tetapnya. Petani MANDIRI adalah ketika petani sudah tidak menggantungkan hidup keluarganya kepada lintah darat, bandar dan orang jahat berkalung riba yang menjerat kehidupan keluarganya.
Petani MANDIRI semacam inilah yang akan kami bangun dengan penerapan metode SRI di seluruh Indonesia. Ketika petani-petani mandiri ini telah menyebar, bisa dibayangkan kekuatan ekonomi pedesaan akan menjelma menjadi kekuatan ekonomi nasional yang dapat mengendalikan stok dan harga pangan di Indonesia, amin...
(*Kabelan Kunia, Penggiat dan pemberdaya petani SRI)
Pola SRI sendiri merupakan perpaduan antara pembelajaran ekologi tanah dan pengendalian hama terpadu. Terdapat tiga hal yang utama dalam pola SRI organik, yakni pengelolaan tanah dan bahan organik yang sehat, pengeloaan potensi tanaman secara optimal, dan pengelolaan air yang baik dan teratur.
Produksi padi dengan metode SRI bisa mencapai 6,5-12 ton GKG per hektar. Angka ini akan sangat membantu pencapaian target Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) di daerah. Selain hasil produksinya tergolong tiggi harga beras hasil SRI organik pun mahal, paling tidak Rp 7.000 per kilogram sudah pasti akan didapat oleh petani.
Penerapan metode budidaya padi sawah SRI yang paling menarik adalah bertumpu pada proses bukan pada hasil. Ketertarikan saya untuk menekuni metode SRI diawali perkenalan saya pertama kali dengan seorang dosen senior Teknik Kimia ITB, yaitu Bapak Dr. Mubiar Purwasasmita. Saya mengetahui dan mendalami metode ini karena motivasi dan dorongan dari beliau yang terus-menerus memberi pemahaman kepada saya tentang SRI. Hal paling menarik dalam sistem ini menurut beliau, di samping terjadi banyak penghematan dan efisiensi mulai dari penggunaan bibit, pupuk dan antihama kimia, sampai kepada efisiensi air juga terjadi penghematan dalam hal pembiayaan oleh petani. Betapa tidak, karena metode ini memberikan penghematan dalam ongkos produksi yang otomatis dapat mengurangi budget petani dalam memproduksi beras yang baik.
Metode SRI dengan pengunaan kompos sebagai pupuk dasar utama sebagai pengganti pupuk kimia yang banyak digunakan petani secara membabi-buta, akan memberikan ruang hidup yang nyaman bagi jutaan mikroorganisme tanah termasuk juga cacing dan serangga lain yang perannya sangat krusial dalam ekosistem tanah, ekosistem sawah dan untuk tanaman padi itu sendiri. Bahwa hasil berlipat seperti yang kami dapatkan selama ini, semata-mata karena proses yang benar telah dilakukan petani dengan memperhatikan keberlangsungan kehidupan dalam suatu ekosistem sawah.
Fenomena SUPERTOY HL-2 adalah sebuah kesalahan besar yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Presiden SBY dan Staf Khususnya. Teknologi pertanian yang bertumpu semata-mata kepada hasil dengan mengabaikan proses, adalah pekerjaan sia-sia dan tanpa perhitungan. Boleh jadi benih padi SUPERTOY adalah benih yang bagus dengan kualitas seperti yang dipromosikan. Tetapi, benih yang bagus kalau tidak diaplikasikan dengan teknik budidaya yang baik apalagi dengan mengesampingkan proses produksinya dan tidak memperhitungakan kuasa Yang Maha Kuasa, yaitu faktor cuaca dan musim, maka tunggulah akibat buruk yang akan menimpa.
Belajar dari kasus SUPERTOY, saya banyak mempertimbangkan teknologi SRI yang mulai saya tekuni sejak 2006 yang lalu. Faktor produksi dan kelestarian alam dengan mengakomodasi kekuatan dan potensi lokal merupakan kekuatan kami dalam melakukan inovasi SRI di lapangan.
Bahwa hasil panen yang berlipat bukan merupakan tujuan utama dalam pelaksanaan kegiatan SRI. Proses SRI yang benar dan konsisten pelan-pelan kami tumbuh kembangkan ke petani-petani binaan. Petani MANDIRI adalah tujuan sesungguhnya dari setiap demplot atau demarea yang kami lakukan.
Petani MANDIRI adalah ketika petani sudah tidak pusing memikirkan kenaikan dan kelangkaan pupuk dan obat kimia, karena mereka sudah mempunyai pengetahuan untuk memproduksinya sendiri. Petani MANDIRI adalah ketika petani sudah tidak hirau dengan kondisi air sawah yang fluktuatif debitnya, karena SRI dikenal dengan metode irit air, yaitu hanya 40% saja penmanfaatnya di lahan sawah. Petani MANDIRI adalah ketika petani sudah tidak peduli dengan harga gabah atau beras yang naik turun di pasaran, karena gabah dan beras berkualitas yang mereka hasilkan sudah pasti mendapatkan harga yang layak dan pasti dengan standar organik dari konsumen tetapnya. Petani MANDIRI adalah ketika petani sudah tidak menggantungkan hidup keluarganya kepada lintah darat, bandar dan orang jahat berkalung riba yang menjerat kehidupan keluarganya.
Petani MANDIRI semacam inilah yang akan kami bangun dengan penerapan metode SRI di seluruh Indonesia. Ketika petani-petani mandiri ini telah menyebar, bisa dibayangkan kekuatan ekonomi pedesaan akan menjelma menjadi kekuatan ekonomi nasional yang dapat mengendalikan stok dan harga pangan di Indonesia, amin...
(*Kabelan Kunia, Penggiat dan pemberdaya petani SRI)
Selasa, 09 September 2008
Supertoy, Isyarat Pemimpin Bak Seekor Keledai
Oleh Kabelan Kunia
Ingat pepatah "Bak keledai yang terperosak dalam lubang yang sama dua kali". Barangkali pepatah ini sangat relevan sekali dengan peristiwa yang dialami Presiden SBY dalam kurun waktu satu tahun belakang ini.
Belumlah usai polemik Blueenergi yang dimotori oleh Mr. Joko Suprapto dengan rekayasa mesin dan Bahan Bakar Alternatif dari air (Banyugeni) yang menghebohkan beberapa bulan yang lalu. Kini, SBY dan staf khususnya yang juga khusus membuat 'onar' dan sensasi dengan memprakarsai padi Supertoy HL-2 yang menimbulkan masalah dan polemik yang berkepanjangan.
Dua peristiwa unik dan bodoh ini menurut saya patut disikapi oleh pemerintah dan kita tentunya sebagai bangsa. Karena ambisi ingin segera membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju, bangsa yang besar dan bangsa yang unggul dalam teknologi, terkadang kita menjadi lupa diri. Kita dalam hal ini pemerintah terjebak dengan hasil bukan proses. Sangat mengimpikan bangsa ini beranjak dari keterbelakangan dan keterpurukan, jalan pintas dan budaya instan ditempuh oleh pengelola pemerintahan untuk segera menuntaskannya. Apa lacur, alih-alih kemakmuran dan kesejahteraan yang terwujud, malapetaka dan kehancuran yang datang. Peristiwa memalukan ini sangat mencoreng kredibilitas SBY dan pemerintah yang dipimpinnya. Tidak tanggung-tanggung, konon Mr. Joko Suprapto langsung didatangkan ke hadapan presiden dan delegasi negara peserta konfrensi lingkungan di Bali beberapa waktu lalu untuk mempresentasikan 'rekayasa' riset yang dia temukan.
Fenomena Blueenergi dan Supertoy menjadi menarik ketika kita membicarakan kajian ilmiah dan etika riset yang dijunjung tinggi sebagian besar ilmuwan dan peneliti dimanapun. Sebuah penelitian yang bagus, pasti didasasarkan dari riset yang panjang mulai dari hulu sampai ke hilir, mulai dari dasar yang kita kenal sebagai penelitian dasar sampai kepada aplikasi atau menghasilkan produk. Tahapan ilmiah perlu dilakukan untuk membuktikan bahwa sebuah penelitian layak atau tidak untuk diterapkan kepada masyarakat. Kajian ilmiah ini umumnya dilakukan oleh ilmuwan atau peneliti di lembaga atau universitas riset. Tidak menutup kemungkinan bahwa sebuah inovasi riset dihasilkan dari seseorang atau lembaga di luar institusi resmi. Tetapi inovasi tersebut tetap saja harus melalui kajian yang mendalam dalam aspek ilmiahnya.
Menarik ketika mendapatkan kenyataan bahwa sebuah inovasi yang dihasilkan oleh anak bangsa, kemudian diterima oleh pemerintah tanpa terlebih dahulu mengkonfirmasikan ke instansi atau lembaga terkait. Lembaga kepresiden seolah memiliki sebuah lembaga baru yang tersembunyi dan kebijakannya melangkahi semua departemen yang ada dalam pemerintahan itu sendiri. Kita lihat, kasus blueenergi, presiden lebih percaya kepada staf khususnya ketimbang meminta konfirmasi kepada menteri terkait seperti Menteri ESDM dan Menteri Ristek. Demikian juga dengan polemik Supertoy, presiden dengan bangga menunjuk staf khusus beliau yang tadinya telah menjerumuskannya dalam kasus blueenrgi, ketimbang menyerahkan wewenang kepada menteri pertanian atau menteri Ristek.
Lantas, apa kerja para menterinya kalau semua pekerjaan, proyek besar semua ditangani oleh staf khusus. Kalo gitu yah, bubarkan saja para menterinya. Bentuk saja staf-staf khusus yang permanen untuk semua bidang yang dia perlukan.
Tapi yang jelas, saya masih percaya dengan pepatah di atas. Karena bodohnya keledai, pasti ia akan terjatuh lagi ke lubang yang sama.
Ingat pepatah "Bak keledai yang terperosak dalam lubang yang sama dua kali". Barangkali pepatah ini sangat relevan sekali dengan peristiwa yang dialami Presiden SBY dalam kurun waktu satu tahun belakang ini.
Belumlah usai polemik Blueenergi yang dimotori oleh Mr. Joko Suprapto dengan rekayasa mesin dan Bahan Bakar Alternatif dari air (Banyugeni) yang menghebohkan beberapa bulan yang lalu. Kini, SBY dan staf khususnya yang juga khusus membuat 'onar' dan sensasi dengan memprakarsai padi Supertoy HL-2 yang menimbulkan masalah dan polemik yang berkepanjangan.
Dua peristiwa unik dan bodoh ini menurut saya patut disikapi oleh pemerintah dan kita tentunya sebagai bangsa. Karena ambisi ingin segera membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju, bangsa yang besar dan bangsa yang unggul dalam teknologi, terkadang kita menjadi lupa diri. Kita dalam hal ini pemerintah terjebak dengan hasil bukan proses. Sangat mengimpikan bangsa ini beranjak dari keterbelakangan dan keterpurukan, jalan pintas dan budaya instan ditempuh oleh pengelola pemerintahan untuk segera menuntaskannya. Apa lacur, alih-alih kemakmuran dan kesejahteraan yang terwujud, malapetaka dan kehancuran yang datang. Peristiwa memalukan ini sangat mencoreng kredibilitas SBY dan pemerintah yang dipimpinnya. Tidak tanggung-tanggung, konon Mr. Joko Suprapto langsung didatangkan ke hadapan presiden dan delegasi negara peserta konfrensi lingkungan di Bali beberapa waktu lalu untuk mempresentasikan 'rekayasa' riset yang dia temukan.
Fenomena Blueenergi dan Supertoy menjadi menarik ketika kita membicarakan kajian ilmiah dan etika riset yang dijunjung tinggi sebagian besar ilmuwan dan peneliti dimanapun. Sebuah penelitian yang bagus, pasti didasasarkan dari riset yang panjang mulai dari hulu sampai ke hilir, mulai dari dasar yang kita kenal sebagai penelitian dasar sampai kepada aplikasi atau menghasilkan produk. Tahapan ilmiah perlu dilakukan untuk membuktikan bahwa sebuah penelitian layak atau tidak untuk diterapkan kepada masyarakat. Kajian ilmiah ini umumnya dilakukan oleh ilmuwan atau peneliti di lembaga atau universitas riset. Tidak menutup kemungkinan bahwa sebuah inovasi riset dihasilkan dari seseorang atau lembaga di luar institusi resmi. Tetapi inovasi tersebut tetap saja harus melalui kajian yang mendalam dalam aspek ilmiahnya.
Menarik ketika mendapatkan kenyataan bahwa sebuah inovasi yang dihasilkan oleh anak bangsa, kemudian diterima oleh pemerintah tanpa terlebih dahulu mengkonfirmasikan ke instansi atau lembaga terkait. Lembaga kepresiden seolah memiliki sebuah lembaga baru yang tersembunyi dan kebijakannya melangkahi semua departemen yang ada dalam pemerintahan itu sendiri. Kita lihat, kasus blueenergi, presiden lebih percaya kepada staf khususnya ketimbang meminta konfirmasi kepada menteri terkait seperti Menteri ESDM dan Menteri Ristek. Demikian juga dengan polemik Supertoy, presiden dengan bangga menunjuk staf khusus beliau yang tadinya telah menjerumuskannya dalam kasus blueenrgi, ketimbang menyerahkan wewenang kepada menteri pertanian atau menteri Ristek.
Lantas, apa kerja para menterinya kalau semua pekerjaan, proyek besar semua ditangani oleh staf khusus. Kalo gitu yah, bubarkan saja para menterinya. Bentuk saja staf-staf khusus yang permanen untuk semua bidang yang dia perlukan.
Tapi yang jelas, saya masih percaya dengan pepatah di atas. Karena bodohnya keledai, pasti ia akan terjatuh lagi ke lubang yang sama.
SuperLetoy HL-2 (Supertoy ding, sorry), Siapa yang Bertanggungjawab?
Oleh Kabelan Kunia
Beberapa hari terakhir kita disibukkan dengan berita yang cukup mengenaskan hati, tragedi padi Supertoy HL-2 di beberapa wilayah di Jawa Tengah.
Lagi-lagi masalah ini mengkaitkan dengan kebiasaan presiden kita SBY yang gandrung tebar pesona dengan berbagai proyek yang diproyeksi dapat mengangkat popularitas, lebih-lebih menjelang April 2009.
Sebenarnya saya tidak tertarik untuk membahas masalah ini. Tapi, saya agak 'gatal' karena melihat banyak sekali korban yang tak berdaya, yaitu masyarakat kecil alias petani dalam kasus ini. Bayangkan, dengan kondisi normal saja petani kita sudah tidak dapat dikatakan hidup normal dengan pendapatan mereka yang minus. Ditambah himpitan hidup yang kian mendesak, minyak tanah langka dan mahal, gas tidak punya, kalaupun dapat jatah dari pemerintah, selanjutnya mereka tidak bisa membeli gas yang harganya kian meroket tanpa kompromi.
Tiba-tiba datang malaikat penolong, seolah-olah menawarkan sorga yang terang-benderang dengan mengatasnamakan Staf Khusus Presiden RI. Janji mulai ditebarkan. Bibit Supertoy HL-2mulai disemai yang katanya super karena dapat dipanen tiga kali dalam setahun tanpa melakukan penanaman berulang dengan hasil mencapai 13 ton/ hektar.
Ah, siapa orang yang tidak tergiur dan percaya. Utusan pemerintah gitu loh.....
Aduh, rakyatku yang malang, rupanya engkau masuk dalam perangkap dan jebakan orang yang tidak bertanggungjawab.
Konon, pada panen perdana yang penuh seremonial oleh Bapak SBY, dilaporkan varietas Super ini hanya memproduksi padi 7,3 ton/hektar saja. Nah, pada penen kedua yang menghebohkan karena amuk petani sudah tidak dapat dibendung, gagal total alias tidak berproduksi.
Setelah semua terjadi, siapa yang bertanggungjawab. Pemerintah jelas-jelas dari beberapa kali pernyataan tidak bertanggungjawab. SBY lewat juru bicarannya merasa tidak terlibat. Pemerintah dalam hal ini Deptan lewat menterinya, merasa kecolongan dan tidak pernah diminta oleh panpel atau SBY sendiri ngurusi ujicoba varietas padi baru ini.
Nah, lho, siapa yang dapat bantu petani kita yang ketiban sial? Beginikah presiden kita yang hebat dan pemerintah kita yang amburadul ini bersikap? Gampang sekali melempar tanggungjawab setelah keringat rakyat kecil disedot lewat proyek yang tidak jelas ini?
Saya yakin, kalaulah proyek ini sukses, bisa dibayangkan akan banyak sekali orang yang ngacungin telunjuk karena merasa mereka yang paling berjasa mensukseskan proyek ini. Sudah barang tentu presiden kita dengan bangga menyampaikan pidoto kenegaraan di depan sidang paripurna DPR/ MPR di Senayan sana atau mungkin buru-buru kontak ke PBB untuk pidoto di markasnya di Washington sana.
Tapi, nasi sudah jadi bubur. Rupanya pejabat dan pemimpin kita tidak belajar dari pengalaman, termasuk pengalaman pahit sekalipun. Rupanya Presiden SBY dan timnya tidak belajar dari kasus Blueenergi Mr. Joko Suprapto yang jelas-jelas mengkadali lembaga kepresidenan.
Nah, kalo udah begini, kita harus bertanya, pantas tidak pemimpin berprilaku instan memimpin bangsa yang ingin maju tapi dengan cara yang tidak benar. Jawabannya kita tunggu April 2009.
*Penggiat dan praktisi padi organik SRI,
Beberapa hari terakhir kita disibukkan dengan berita yang cukup mengenaskan hati, tragedi padi Supertoy HL-2 di beberapa wilayah di Jawa Tengah.
Lagi-lagi masalah ini mengkaitkan dengan kebiasaan presiden kita SBY yang gandrung tebar pesona dengan berbagai proyek yang diproyeksi dapat mengangkat popularitas, lebih-lebih menjelang April 2009.
Sebenarnya saya tidak tertarik untuk membahas masalah ini. Tapi, saya agak 'gatal' karena melihat banyak sekali korban yang tak berdaya, yaitu masyarakat kecil alias petani dalam kasus ini. Bayangkan, dengan kondisi normal saja petani kita sudah tidak dapat dikatakan hidup normal dengan pendapatan mereka yang minus. Ditambah himpitan hidup yang kian mendesak, minyak tanah langka dan mahal, gas tidak punya, kalaupun dapat jatah dari pemerintah, selanjutnya mereka tidak bisa membeli gas yang harganya kian meroket tanpa kompromi.
Tiba-tiba datang malaikat penolong, seolah-olah menawarkan sorga yang terang-benderang dengan mengatasnamakan Staf Khusus Presiden RI. Janji mulai ditebarkan. Bibit Supertoy HL-2mulai disemai yang katanya super karena dapat dipanen tiga kali dalam setahun tanpa melakukan penanaman berulang dengan hasil mencapai 13 ton/ hektar.
Ah, siapa orang yang tidak tergiur dan percaya. Utusan pemerintah gitu loh.....
Aduh, rakyatku yang malang, rupanya engkau masuk dalam perangkap dan jebakan orang yang tidak bertanggungjawab.
Konon, pada panen perdana yang penuh seremonial oleh Bapak SBY, dilaporkan varietas Super ini hanya memproduksi padi 7,3 ton/hektar saja. Nah, pada penen kedua yang menghebohkan karena amuk petani sudah tidak dapat dibendung, gagal total alias tidak berproduksi.
Setelah semua terjadi, siapa yang bertanggungjawab. Pemerintah jelas-jelas dari beberapa kali pernyataan tidak bertanggungjawab. SBY lewat juru bicarannya merasa tidak terlibat. Pemerintah dalam hal ini Deptan lewat menterinya, merasa kecolongan dan tidak pernah diminta oleh panpel atau SBY sendiri ngurusi ujicoba varietas padi baru ini.
Nah, lho, siapa yang dapat bantu petani kita yang ketiban sial? Beginikah presiden kita yang hebat dan pemerintah kita yang amburadul ini bersikap? Gampang sekali melempar tanggungjawab setelah keringat rakyat kecil disedot lewat proyek yang tidak jelas ini?
Saya yakin, kalaulah proyek ini sukses, bisa dibayangkan akan banyak sekali orang yang ngacungin telunjuk karena merasa mereka yang paling berjasa mensukseskan proyek ini. Sudah barang tentu presiden kita dengan bangga menyampaikan pidoto kenegaraan di depan sidang paripurna DPR/ MPR di Senayan sana atau mungkin buru-buru kontak ke PBB untuk pidoto di markasnya di Washington sana.
Tapi, nasi sudah jadi bubur. Rupanya pejabat dan pemimpin kita tidak belajar dari pengalaman, termasuk pengalaman pahit sekalipun. Rupanya Presiden SBY dan timnya tidak belajar dari kasus Blueenergi Mr. Joko Suprapto yang jelas-jelas mengkadali lembaga kepresidenan.
Nah, kalo udah begini, kita harus bertanya, pantas tidak pemimpin berprilaku instan memimpin bangsa yang ingin maju tapi dengan cara yang tidak benar. Jawabannya kita tunggu April 2009.
*Penggiat dan praktisi padi organik SRI,
Senin, 18 Agustus 2008
Kamis, 14 Agustus 2008
Pertanian Organik, Kembali ke Konsep Alami
Oleh : Kabelan Kunia
Artikel ini telah dimuat di Kolom Cakrawala, Harian Pikiran Rakyat, Kamis, 14 Agustus 2008
Menurut Menteri Pertanian, Anton Apriantono, pembangunan pertanian dihadapkan pada sejumlah kendala dan masalah yang harus segera dipecahkan, yaitu antara lain:1) keterbatasan dan penurunan kapasitas sumberdaya pertanian, 2) lemahnya sistem alih teknologi dan kurang tepatnya sasaran, 3) terbatasnya akses terhadap layanan usaha terutama permodalan, 4) panjangnya rantai tataniaga dan belum adilnya sistem pemasaran, 5) rendahnya kualitas, mentalitas, dan keterampilan sumberdaya petani, 6) lemahnya kelembagaan dan posisi tawar petani, 7) lemahnya koordinasi antar lembaga terkait dan birokrasi, dan 8) belum berpihaknya kebijakan ekonomi makro kepada petani.
Namun, terlepas dari kendala dan masalah di atas, sektor pertanian tetap menjadi tumpuan harapan tidak hanya dalam upaya menjaga ketahanan pangan, tetapi juga dalam penyediaan kesempatan kerja, sumber pendapatan, penyumbang devisa dan pertumbuhan ekonomi nasional. Devisa dari sektor pertanian dan usaha lain berbasis pertanian diharapkan meningkat dari sekitar 7,8 milyar US$ saat ini menjadi 12 milyar US$ tahun 2009.
Pertanian organik, Itulah solusi tepat yang harus kita kerjakan untuk memecahkan masalah ini. Paradigma pertanian kita harus kita ubah secara radikal. Kita harus kembali pada konsep pertanian alami. Khususnya mengenai penggunaan pupuk dan pembasmi hama dan penyakit. Penggunaan pestisida, herbisida dan fungisida harus diminialisasi sampai ke tingkat mendekati nol. Penggunaan pupuk kita kembalikan lagi pada penggunaan pupuk kandang atau kompos dan pupuk hijau.
Pertanian organik merupakan sistem manajemen produksi yang holistik yang mendukung dan meningkatkan kesehatan ekosistem, termasuk siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Sedangkan IFOAM menjelaskan bahwa pertanian organik merupakan suatu pendekatan sistem yang utuh berdasarkan satu perangkat proses yang menghasilkan ekosistem yang berkelanjutan (sustainable), pangan yang aman, gizi yang baik, kesejahteraan hewan dan keadilan sosial.
Dengan demikian, pertanian organik lebih dari sekedar sistem produksi yang memasukkan atau mengeluarkan input tertentu, namun juga merupakan satu filosofi dengan tujuan mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas dari komunitas yang saling berketergantungan dari kehidupan tanah, tanaman, hewan dan orang.
Prinsip Pertanian Organik
Sistem pertanian organik ini berpijak pada kesuburan tanah sebagai kunci keberhasilan produksi dengan memperhatikan kemampuan alami dari tanah, tanaman, dan hewan untuk menghasilkan kualitas yang baik bagi hasil pertanian maupun lingkungan.
Menurut IFOAM (International Federation of Organik Agriculture Movements), tujuan yang hendak dicapai dengan penggunaan sistem pertanian organik adalah: Menghasilkan bahan pangan dengan kualitas nutrisi tinggi serta dalam jumlah cukup, melaksanakan interaksi efektif dengan sistem dan daur alamiah yang mendukung semua bentuk kehidupan yang ada, mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam sistem usaha tani dengan mengaktifkan kehidupan jasad renik, flora dan fauna, tanah, tanaman serta hewan, memelihara serta meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan, menggunakan sebanyak mungkin sumber-sumber terbarui yang berasal dari sistem usaha tani itu sendiri, memanfaatkan bahan-bahan yang mudah didaur ulang baik di dalam maupun di luar usaha tani, menciptakan keadaan yang memungkinkan ternak hidup sesuai dengan perilakunya yang hakiki, membatasi terjadinya semua bentuk pencemaran lingkungan yang mungkin dihasilkan oleh kegiatan pertanian, mempertahankan keanekaragaman hayati termasuk pelestarian habitat tanaman dan hewan, memberikan jaminan yang semakin baik bagi para produsen pertanian (terutama petani) dengan kehidupan yang lebih sesuai dengan hak asasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar serta memperoleh penghasilan dan kepuasan kerja, termasuk lingkungan kerja yang aman dan sehat, dan mempertimbangkan dampak yang lebih luas dari kegiatan usaha tani terhadap kondisi fisik dan sosial.
Pada prinsipnya pertanian organik bersahabat dan selaras dengan lingkungan.
Pertanian organik dapat didefinisikan sebagai suatu sistem produksi pertanian yang menghindarkan atau mengesampingkan penggunaan senyawa sintetik baik untuk pupuk, zat tumbuh, maupun pestisida. Meskipun pertanian organik tidak hanya sesempit itu pengertiannya. Pertanian organik bukan sekedar teknik atau metode bertani, melaikan juga cara pandang, sistem nilai, sikap dan keyakinan hidup.
Prinsip utama dalam sistem pertanian organik adalah lahan untuk budi daya organik harus bebas cemaran bahan agrokimia dari pupuk dan pestisida. Lahan dapat berupa lahan pertanian yang baru dibuka atau lahan pertanian intensif yang telah dikonversi menjadi lahan pertanian organik. Lama masa konversi bergantung pada sejarah penggunaan lahan, pupuk, pestisida, dan jenis tanaman.
Hal lain adalah menghindari benih/bibit hasil rekayasa genetik atau genetically modified organism (GMO). Sebaiknya benih berasal dari kebun pertanian organik. Menghindari penggunaan pupuk kimia sintetis dan zat pengatur tumbuh. Peningkatan kesuburan tanah dilakukan melalui penambahan pupuk organik, sisa tanaman, pupuk alam, dan rotasi dengan tanaman legum.
Menghindari penggunaan pestisida kimia sintetis. Pengendalian hama, penyakit, dan gulma dilakukan dengan cara manual, biopestisida, agen hayati, dan rotasi tanaman. Menghindari penggunaan hormon tumbuh dan bahan aditif sintetis pada pakan ternak dan secara tidak langsung pada pupuk kandang. Penanganan pascapanen dan pengawetan bahan pangan menggunakan cara-cara yang alami.
Dilarangnya penggunaan bahan kimia sintetik dalam pertanian organik merupakan salah satu kendala yang cukup berat bagi petani, selain mengubah budaya yang sudah berkembang 35 tahun terakhir ini pertanian organik membuat produksi menurun jika perlakuannya kurang tepat.
Budaya instan yang terbentuk ketika dengan mudahnya petani mendapatkan dan menerapkan bahan kimia sintetik di lapangan sangat sulit dirubah. Kesulitan ini didapatkan ketika petani dianjurkan harus membuat kompos terlebih dahulu atau membuat ramuan racun hama yang dibuat dari tanaman obat.
Pupuk Organik
Peningkatan mutu intensifikasi selama tiga dasawarsa terakhir, telah melahirkan petani yang mempunyai ketergantungan pada pupuk yang menyebabkan terjadinya kejenuhan produksi pada daerah-daerah intensifikasi padi misalnya. Keadaan ini selain menimbulkan pemborosan juga menimbulkan berbagai dampak negatif khususnya pencemaran lingkungan. Oleh karena itu perlu upaya perbaikan agar penggunaan pupuk dapat dilakukan seefisien mungkin dan ramah lingkungan.
Selain itu, pemberian nitrogen berlebih disamping menurunkan efisiensi pupuk lainnya, juga dapat memberikan dampak negatif, diantaranya meningkatkan gangguan hama dan penyakit akibat nutrisi yang tidak seimbang. Oleh karena itu, perlu upaya perbaikan guna mengatasi masalah tersebut, sehingga kaidah penggunaan sumber daya secara efisien dan aman lingkungan dapat diterapkan.
Beberapa penelitian yang menyangkut efisiensi penggunaan pupuk sangat mendukung upaya penghematan penggunaan pupuk kimia. Upaya tersebut dilakukan melalui pendekatan peningkatan daya dukung tanah dan/atau peningkatan efisiensi produk pupuk dengan menggunakan mikroorganisme. Penggunaan mikroorganisme pada pembuatan pupuk organik, selain meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk, juga akan mengurangi dampak pencemaran air tanah dan lingkungan yang timbul akibat pemakaian pupuk kimia berlebihan.
Penggunaan pupuk organik bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk kimia, sehingga dosis pupuk dan dampak pencemaran lingkungan akibat penggunaan pupuk kimia dapat secara nyata dikurangi. pupuk organik merupakan penyangga biologi yang mempunyai fungsi dalam memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, sehingga tanah dapat menyediakan hara dalam jumlah berimbang.
Kemampuan pupuk organik untuk menurunkan dosis penggunaan pupuk konvensional sekaligus mengurangi biaya pemupukan telah dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian, baik untuk tanaman pangan (kedelai, padi, jagung, dan kentang) maupun tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet, kakao, teh, dan tebu) yang diketahui selama ini sebagai pengguna utama pupuk konvensional (pupuk kimia).
Lebih lanjut, kemampuannya untuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan terbukti sejalan dengan kemampuannya menurunkan dosis penggunaan pupuk kimia.
Tanah mempunyai peranan penting dalam perombakan bahan organik. Cacing, serangga kecil, dan mikroorganisme seperti bakteri dan fungi yang bertanggung jawab dalam proses pembusukan, terdapat dalam tanah. Organisme tersebut bisa mendapatkan energi dari bahan organik yang telah mati dan menguraikan bahan tersebut menjadi bahan baku yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tumbuh-tumbuhan.
Organisme tanah mengubah bahan tanaman yang sudah mati menjadi nutrisi yang berharga.
Mikroorganisme membutuhkan oksigen, karena itu kalau kondisi tanah padat atau terlalu berlumpur mereka tidak bisa hidup. Dalam kondisi tanah yang terlalu padat atau berlumpur/digenangi, maka jutaan mikroorganisme di dalam tanah akan mati.
Kematian mikroorganisme ini akan sangat mempengaruhi tingkat kesuburan tanah. Tidak ada lagi mahluk kecil yang menjalankan tugas ‘memotong’ bahan organik tanah menjadi senyawa-senyawa yang diperlukan tanaman. Suplai makanan ke tanaman jadi macet, dan tanaman tumbuh kerdil dan tidak produktif.
Pengendalian Hama & Penyakit
Petani telah terbiasa mengandalkan pestisida sintetik sebagai satu-satunya cara pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) khususnya hama dan penyakit tumbuhan. Seperti diketahui, terdapat sekitar 10.000 spesies serangga yang berpotensi sebagai hama tanaman dan sekitar 14.000 spesies jamur yang berpotensi sebagai penyebab penyakit dari berbagai tanaman budidaya. Alasan petani memilih pestisida sintetik untuk mengendaliakan OPT di lahannya karena aplikasinya mudah, efektif dan banyak tersedia di pasar meski harganya cukup mahal.
Pada dasarnya prinsip pengendalian hama dan penyakit dalam sistem pertanian organik adalah keterpaduan yang lebih menekankan aspek keseimbangan alam. Ketika agroekosistem berhasil dikelola secara seimbang, maka ongkos pengendalian menjadi lebih murah. Keseimbangan alami antara serangga hama dan musuh alami sering dikacaukan oleh penggunaan insektisida yang hanya satu macam.
Cara pengendalian hama yang dikembangkan dalam pertanian organik dengan memanfaatkan pestisida biologi dan pestisida botani, antara lain menggunakan musuh alami, penggunaan varietas resisten, cara fisik dan mekanis, dan cara kultur teknis. Banyak sekali tanaman di sekitar kebun dan sawah yang dapat dimafaatkan untuk mengusir hama. Sebut saja misalnya daun mimba, daun dan biji sirsak, kunyit, lengkuas, daun jeruk, serai, dan berbagai tanaman obat yang umumnya menghasilkan bau menyengat.
Di samping itu di lahan kebun atau sawah sebaiknya ditanam tanaman perangkap hama yang berfungsi menarik hama agar menyerang tanaman perangkap, dan menjauhi tanaman utama, sehingga kerusakan tanaman dapat dikurangi. Hama yang mengumpul dapat ditangkap untuk makanan ikan, sedangkan tanaman perangkapnya sendiri yang rusak oleh hama dapat dicabut lalu dibakar.
Tanaman penolak hama dapat melindungi tanaman di dekatnya dengan bau-bauan yang dikeluarkannya, bentuk dan warna daun atau bunga yang khas yang tidak disukai hama, sehingga hama akan menjauh dari tanaman utama.
****
Sehubungan dengan banyaknya manfaat dan dampak positif yang dapat dirasakan dari penerapan sistem pertanian organik, Departemen Pertanian sejak tahun 2000 telah memberikan perhatian yang serius terhadap pengembangan pertanian organik di Indonesia. Bahkan pada saat itu dicanangkan untuk mencapai Go Organik 2010.
Diharapkan program pertanian organik di Indonesia menjadi lebih kuat dan bisa lebih cepat mengejar ketertinggalan dari negara lain yang telah lebih dulu maju dalam sistem pertanian ini. Diharapkan Go Organik 2010 bisa benar-benar terealisir dan Indonesia bisa menjadi produsen organik terkemuka, semoga
(Kabelan Kunia/ penggiat dan pemberdaya masyarakat padi organik ‘SRI’ dan praktisi pertanian organik)
Artikel ini telah dimuat di Kolom Cakrawala, Harian Pikiran Rakyat, Kamis, 14 Agustus 2008
Menurut Menteri Pertanian, Anton Apriantono, pembangunan pertanian dihadapkan pada sejumlah kendala dan masalah yang harus segera dipecahkan, yaitu antara lain:1) keterbatasan dan penurunan kapasitas sumberdaya pertanian, 2) lemahnya sistem alih teknologi dan kurang tepatnya sasaran, 3) terbatasnya akses terhadap layanan usaha terutama permodalan, 4) panjangnya rantai tataniaga dan belum adilnya sistem pemasaran, 5) rendahnya kualitas, mentalitas, dan keterampilan sumberdaya petani, 6) lemahnya kelembagaan dan posisi tawar petani, 7) lemahnya koordinasi antar lembaga terkait dan birokrasi, dan 8) belum berpihaknya kebijakan ekonomi makro kepada petani.
Namun, terlepas dari kendala dan masalah di atas, sektor pertanian tetap menjadi tumpuan harapan tidak hanya dalam upaya menjaga ketahanan pangan, tetapi juga dalam penyediaan kesempatan kerja, sumber pendapatan, penyumbang devisa dan pertumbuhan ekonomi nasional. Devisa dari sektor pertanian dan usaha lain berbasis pertanian diharapkan meningkat dari sekitar 7,8 milyar US$ saat ini menjadi 12 milyar US$ tahun 2009.
Pertanian organik, Itulah solusi tepat yang harus kita kerjakan untuk memecahkan masalah ini. Paradigma pertanian kita harus kita ubah secara radikal. Kita harus kembali pada konsep pertanian alami. Khususnya mengenai penggunaan pupuk dan pembasmi hama dan penyakit. Penggunaan pestisida, herbisida dan fungisida harus diminialisasi sampai ke tingkat mendekati nol. Penggunaan pupuk kita kembalikan lagi pada penggunaan pupuk kandang atau kompos dan pupuk hijau.
Pertanian organik merupakan sistem manajemen produksi yang holistik yang mendukung dan meningkatkan kesehatan ekosistem, termasuk siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Sedangkan IFOAM menjelaskan bahwa pertanian organik merupakan suatu pendekatan sistem yang utuh berdasarkan satu perangkat proses yang menghasilkan ekosistem yang berkelanjutan (sustainable), pangan yang aman, gizi yang baik, kesejahteraan hewan dan keadilan sosial.
Dengan demikian, pertanian organik lebih dari sekedar sistem produksi yang memasukkan atau mengeluarkan input tertentu, namun juga merupakan satu filosofi dengan tujuan mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas dari komunitas yang saling berketergantungan dari kehidupan tanah, tanaman, hewan dan orang.
Prinsip Pertanian Organik
Sistem pertanian organik ini berpijak pada kesuburan tanah sebagai kunci keberhasilan produksi dengan memperhatikan kemampuan alami dari tanah, tanaman, dan hewan untuk menghasilkan kualitas yang baik bagi hasil pertanian maupun lingkungan.
Menurut IFOAM (International Federation of Organik Agriculture Movements), tujuan yang hendak dicapai dengan penggunaan sistem pertanian organik adalah: Menghasilkan bahan pangan dengan kualitas nutrisi tinggi serta dalam jumlah cukup, melaksanakan interaksi efektif dengan sistem dan daur alamiah yang mendukung semua bentuk kehidupan yang ada, mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam sistem usaha tani dengan mengaktifkan kehidupan jasad renik, flora dan fauna, tanah, tanaman serta hewan, memelihara serta meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan, menggunakan sebanyak mungkin sumber-sumber terbarui yang berasal dari sistem usaha tani itu sendiri, memanfaatkan bahan-bahan yang mudah didaur ulang baik di dalam maupun di luar usaha tani, menciptakan keadaan yang memungkinkan ternak hidup sesuai dengan perilakunya yang hakiki, membatasi terjadinya semua bentuk pencemaran lingkungan yang mungkin dihasilkan oleh kegiatan pertanian, mempertahankan keanekaragaman hayati termasuk pelestarian habitat tanaman dan hewan, memberikan jaminan yang semakin baik bagi para produsen pertanian (terutama petani) dengan kehidupan yang lebih sesuai dengan hak asasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar serta memperoleh penghasilan dan kepuasan kerja, termasuk lingkungan kerja yang aman dan sehat, dan mempertimbangkan dampak yang lebih luas dari kegiatan usaha tani terhadap kondisi fisik dan sosial.
Pada prinsipnya pertanian organik bersahabat dan selaras dengan lingkungan.
Pertanian organik dapat didefinisikan sebagai suatu sistem produksi pertanian yang menghindarkan atau mengesampingkan penggunaan senyawa sintetik baik untuk pupuk, zat tumbuh, maupun pestisida. Meskipun pertanian organik tidak hanya sesempit itu pengertiannya. Pertanian organik bukan sekedar teknik atau metode bertani, melaikan juga cara pandang, sistem nilai, sikap dan keyakinan hidup.
Prinsip utama dalam sistem pertanian organik adalah lahan untuk budi daya organik harus bebas cemaran bahan agrokimia dari pupuk dan pestisida. Lahan dapat berupa lahan pertanian yang baru dibuka atau lahan pertanian intensif yang telah dikonversi menjadi lahan pertanian organik. Lama masa konversi bergantung pada sejarah penggunaan lahan, pupuk, pestisida, dan jenis tanaman.
Hal lain adalah menghindari benih/bibit hasil rekayasa genetik atau genetically modified organism (GMO). Sebaiknya benih berasal dari kebun pertanian organik. Menghindari penggunaan pupuk kimia sintetis dan zat pengatur tumbuh. Peningkatan kesuburan tanah dilakukan melalui penambahan pupuk organik, sisa tanaman, pupuk alam, dan rotasi dengan tanaman legum.
Menghindari penggunaan pestisida kimia sintetis. Pengendalian hama, penyakit, dan gulma dilakukan dengan cara manual, biopestisida, agen hayati, dan rotasi tanaman. Menghindari penggunaan hormon tumbuh dan bahan aditif sintetis pada pakan ternak dan secara tidak langsung pada pupuk kandang. Penanganan pascapanen dan pengawetan bahan pangan menggunakan cara-cara yang alami.
Dilarangnya penggunaan bahan kimia sintetik dalam pertanian organik merupakan salah satu kendala yang cukup berat bagi petani, selain mengubah budaya yang sudah berkembang 35 tahun terakhir ini pertanian organik membuat produksi menurun jika perlakuannya kurang tepat.
Budaya instan yang terbentuk ketika dengan mudahnya petani mendapatkan dan menerapkan bahan kimia sintetik di lapangan sangat sulit dirubah. Kesulitan ini didapatkan ketika petani dianjurkan harus membuat kompos terlebih dahulu atau membuat ramuan racun hama yang dibuat dari tanaman obat.
Pupuk Organik
Peningkatan mutu intensifikasi selama tiga dasawarsa terakhir, telah melahirkan petani yang mempunyai ketergantungan pada pupuk yang menyebabkan terjadinya kejenuhan produksi pada daerah-daerah intensifikasi padi misalnya. Keadaan ini selain menimbulkan pemborosan juga menimbulkan berbagai dampak negatif khususnya pencemaran lingkungan. Oleh karena itu perlu upaya perbaikan agar penggunaan pupuk dapat dilakukan seefisien mungkin dan ramah lingkungan.
Selain itu, pemberian nitrogen berlebih disamping menurunkan efisiensi pupuk lainnya, juga dapat memberikan dampak negatif, diantaranya meningkatkan gangguan hama dan penyakit akibat nutrisi yang tidak seimbang. Oleh karena itu, perlu upaya perbaikan guna mengatasi masalah tersebut, sehingga kaidah penggunaan sumber daya secara efisien dan aman lingkungan dapat diterapkan.
Beberapa penelitian yang menyangkut efisiensi penggunaan pupuk sangat mendukung upaya penghematan penggunaan pupuk kimia. Upaya tersebut dilakukan melalui pendekatan peningkatan daya dukung tanah dan/atau peningkatan efisiensi produk pupuk dengan menggunakan mikroorganisme. Penggunaan mikroorganisme pada pembuatan pupuk organik, selain meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk, juga akan mengurangi dampak pencemaran air tanah dan lingkungan yang timbul akibat pemakaian pupuk kimia berlebihan.
Penggunaan pupuk organik bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk kimia, sehingga dosis pupuk dan dampak pencemaran lingkungan akibat penggunaan pupuk kimia dapat secara nyata dikurangi. pupuk organik merupakan penyangga biologi yang mempunyai fungsi dalam memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, sehingga tanah dapat menyediakan hara dalam jumlah berimbang.
Kemampuan pupuk organik untuk menurunkan dosis penggunaan pupuk konvensional sekaligus mengurangi biaya pemupukan telah dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian, baik untuk tanaman pangan (kedelai, padi, jagung, dan kentang) maupun tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet, kakao, teh, dan tebu) yang diketahui selama ini sebagai pengguna utama pupuk konvensional (pupuk kimia).
Lebih lanjut, kemampuannya untuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan terbukti sejalan dengan kemampuannya menurunkan dosis penggunaan pupuk kimia.
Tanah mempunyai peranan penting dalam perombakan bahan organik. Cacing, serangga kecil, dan mikroorganisme seperti bakteri dan fungi yang bertanggung jawab dalam proses pembusukan, terdapat dalam tanah. Organisme tersebut bisa mendapatkan energi dari bahan organik yang telah mati dan menguraikan bahan tersebut menjadi bahan baku yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tumbuh-tumbuhan.
Organisme tanah mengubah bahan tanaman yang sudah mati menjadi nutrisi yang berharga.
Mikroorganisme membutuhkan oksigen, karena itu kalau kondisi tanah padat atau terlalu berlumpur mereka tidak bisa hidup. Dalam kondisi tanah yang terlalu padat atau berlumpur/digenangi, maka jutaan mikroorganisme di dalam tanah akan mati.
Kematian mikroorganisme ini akan sangat mempengaruhi tingkat kesuburan tanah. Tidak ada lagi mahluk kecil yang menjalankan tugas ‘memotong’ bahan organik tanah menjadi senyawa-senyawa yang diperlukan tanaman. Suplai makanan ke tanaman jadi macet, dan tanaman tumbuh kerdil dan tidak produktif.
Pengendalian Hama & Penyakit
Petani telah terbiasa mengandalkan pestisida sintetik sebagai satu-satunya cara pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) khususnya hama dan penyakit tumbuhan. Seperti diketahui, terdapat sekitar 10.000 spesies serangga yang berpotensi sebagai hama tanaman dan sekitar 14.000 spesies jamur yang berpotensi sebagai penyebab penyakit dari berbagai tanaman budidaya. Alasan petani memilih pestisida sintetik untuk mengendaliakan OPT di lahannya karena aplikasinya mudah, efektif dan banyak tersedia di pasar meski harganya cukup mahal.
Pada dasarnya prinsip pengendalian hama dan penyakit dalam sistem pertanian organik adalah keterpaduan yang lebih menekankan aspek keseimbangan alam. Ketika agroekosistem berhasil dikelola secara seimbang, maka ongkos pengendalian menjadi lebih murah. Keseimbangan alami antara serangga hama dan musuh alami sering dikacaukan oleh penggunaan insektisida yang hanya satu macam.
Cara pengendalian hama yang dikembangkan dalam pertanian organik dengan memanfaatkan pestisida biologi dan pestisida botani, antara lain menggunakan musuh alami, penggunaan varietas resisten, cara fisik dan mekanis, dan cara kultur teknis. Banyak sekali tanaman di sekitar kebun dan sawah yang dapat dimafaatkan untuk mengusir hama. Sebut saja misalnya daun mimba, daun dan biji sirsak, kunyit, lengkuas, daun jeruk, serai, dan berbagai tanaman obat yang umumnya menghasilkan bau menyengat.
Di samping itu di lahan kebun atau sawah sebaiknya ditanam tanaman perangkap hama yang berfungsi menarik hama agar menyerang tanaman perangkap, dan menjauhi tanaman utama, sehingga kerusakan tanaman dapat dikurangi. Hama yang mengumpul dapat ditangkap untuk makanan ikan, sedangkan tanaman perangkapnya sendiri yang rusak oleh hama dapat dicabut lalu dibakar.
Tanaman penolak hama dapat melindungi tanaman di dekatnya dengan bau-bauan yang dikeluarkannya, bentuk dan warna daun atau bunga yang khas yang tidak disukai hama, sehingga hama akan menjauh dari tanaman utama.
****
Sehubungan dengan banyaknya manfaat dan dampak positif yang dapat dirasakan dari penerapan sistem pertanian organik, Departemen Pertanian sejak tahun 2000 telah memberikan perhatian yang serius terhadap pengembangan pertanian organik di Indonesia. Bahkan pada saat itu dicanangkan untuk mencapai Go Organik 2010.
Diharapkan program pertanian organik di Indonesia menjadi lebih kuat dan bisa lebih cepat mengejar ketertinggalan dari negara lain yang telah lebih dulu maju dalam sistem pertanian ini. Diharapkan Go Organik 2010 bisa benar-benar terealisir dan Indonesia bisa menjadi produsen organik terkemuka, semoga
(Kabelan Kunia/ penggiat dan pemberdaya masyarakat padi organik ‘SRI’ dan praktisi pertanian organik)
Pupuk Organik Atasi Degradasi Kesuburan
Oleh Kabelan Kunia
Artikel ini telah dimuat di Kolom Cakrawala, Harian Pikiran Rakyat, Kamis, 14 Agustus 2008
Lebih dari 60% lahan sawah di pulau Jawa telah mengalami degradasi kesuburan tanah (fisika, kimia dan biologi) yang diindikasikan oleh rendahnya kandungan bahan organik (dibawah 1%). Dampak dari rendahnya kandungan bahan organik (BO) ini antara lain tanah menjadi keras dan liat sehingga sulit diolah, respon terhadap pemupukan rendah, tidak responsif terhadap unsur hara tertentu, tanah menjadi masam, penggunaan air irigasi menjadi tidak efisien serta produktivitas tanaman cenderung rendah dan semakin sulit untuk ditingkatkan.
Hal ini disebabkan karena cara-cara pengelolaan lahan sawah dan ladang yang kurang tepat, sehingga tanah semakin tandus sementara pemberian pupuk buatan yang terus menerus, bahan organik yang berupa jerami padi tidak dikembalikan ke lahan, tetapi dibuang atau dibakar, sehingga mengakibatkan lahan menjadi miskin akan unsur hara yang dibutuhkan tanaman serta memburuknya sifat fisik lahan.
Kondisi ini diperparah dengan pemakaian pestisida yang cenderung berlebihan dan tidak terkontrol, sehingga mengakibatkan keseimbangan alam terganggu, musuh alami hama menjadi punah akibatnya hama dan penyakit tanaman semakin tumbuh dan berkembang dengan pesat. Dampak lain yang tidak pernah disadari adanya residu pestisida pada hasil panen yang terus kita konsumsi.
Bahan kimia kini sudah over digunakan untuk keperluan pertanian, sehingga kondisi tanah petani yang digunakan bercocok tanam tak bertambah subur, tapi malah sebaliknya, tandus dan gersang. Pupuk an racun kimia saat ini sudah mengancam kelangsungan hidup makhluk hidup. Tak hanya manusia saja yang kena imbasnya, tapi makhluk hidup yang lain juga kena getahnya.
Hasil uji coba pupuk kimia dan pupuk organik, ternyata manfaatnya lebih banyak pupuk organik. Biaya produksinya lebih murah dibanding pupuk kimia, penggunaanmya lebih sederhana, harganya pun terjangkau bahkan cenderung gratis. Dan yang terpenting, pupuk organik dapat menjaga unsur hara di dalam tanah, sehingga terdapat keseimbangan.
Berdasarkan hal tersebut makin berkembang alasan untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia dan agar pembuatan pabrik-pabrik pupuk di dunia dikurangi atau dihentikan sama sekali agar manusia bisa terhindar dari malapetaka polusi. Upaya pembudidayaan tanaman dengan pertanian organik merupakan usaha untuk dapat mendapatkan bahan makanan tanpa penggunaan pupuk anorganik. Dengan sitem ini diharapkan tanaman dapat hidup tanpa ada masukan dari luar, sehingga dalam kehidupan tanaman terdapat suatu siklus hidup yang tertutup.
Pupuk Organik
Secara umum, pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari bahan-bahan organik yang dihancurkan dalam proses fermentasi. Sumber bahan baku organik ini dapat diperoleh dari bermacam-macam sumber seperti : kotoran ternak, sampah kota/ pasar, sampah rumah tangga non sintetis dan limbah-limbah pabrik makanan/minuman. Umumnya pupuk yang dibuat dari bahan-bahan ini dikenal dengan nama pupuk kompos.
Biasanya untuk membuat pupuk kompos ini, ditambahkan inokulum mikroba yang membantu mempercepat proses penghancuran (dekomposisi). Sebetulnya tanpa dibantupun, alam dengan sendirinya akan mendekomposisi bahan-bahan organik tersebut dengan bakteri yang ada di alam, beserta bantuan organisme renik lainnya.
Pupuk kompos mempunyai tingkat ikatan antar bahan yang sangat buruk jika kita bandingkan misalnya dengan tanah (liat). Gumpalan tanah yang tidak mengandung humus, sangatlah padat dan mudah sekali mengeras. Padahal dalam proses tumbuhnya, tumbuhan memerlukan tempat berpijak yang kokoh dan gembur. Di samping menyerap air dari dalam tanah, akar tanaman juga melakukan proses bernapas atau respirasi sama halnya dengan kita. Maka jika tanah tempat tumbuh tersebut adalah tanah yang keras dan mempunyai tingkat kepadatan tinggi, tidak terdapat celah yang menjadi tempat sirkulasi udara. Dengan diberikannya pupuk kompos di lahan pertanian, maka kompos akan bercampur dengan tanah untuk membentuk lapisan yang dikenal dengan humus, yaitu lapisan permukaan tanah yang kaya akan bahan organik. Struktur tanah akan menjadi gembur dan tidak bergumpal. Dalam tanah yang gembur, banyak terdapat celah yang dapat ditembus udara yang berarti sirkulasi udara di tanah menjadi lancar.
Ada satu hal lagi peran penting pupuk kompos yang belum begitu disadari oleh banyak orang. Di samping sebagai penggembur tanah, pupuk kompos juga sebagai media tempat hidup sejumlah besar bakteri (bioreaktor). Tanaman pada dasarnya menyerap makanan dari dalam tanah dalam bentuk ion-ion. Sebenarnya di dalam tanah sendiri (juga di dalam bahan organik lain) terdapat banyak unsur makanan yang diperlukan tanaman. Tetapi unsur makanan tersebut biasanya masih terikat dalam bentuk senyawa kompleks yang tidak dapat diserap langsung oleh tanaman. Senyawa kompleks tersebut harus diurai lagi agar pecah menjadi ion-ion yang dapat diserap oleh tanaman. Banyak bakteri yang hidup di dalam tanah dapat melakukan proses pemecahan senyawa kompleks tersebut dan mengubahnya menjadi ion-ion atau unsur makanan yang siap disantap oleh tanaman.
Mikroba tanah melakukan proses makan atas bahan organik dan bahan asli alam (seperti batu-batuan mineral) dalam aktivitas hidupnya. Ketika bahan organik dan bahan asli alam dimakan oleh bakteri, struktur senyawa kompleksnya pecah menjadi unsur-unsur yang lebih sederhana atau dalam bentuk ion yang dapat diserap oleh tanaman.
Satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya yang dihasilkan oleh mikroba adalah enzim-enzim dan hormon serta vitamin sebagai hasil sekresi dalam proses metabolisme di dalam tubuhnya.. Juga banyak penyakit tanaman yang bisa ditekan karena keberadaan mikroba di dalam tanah. Sebenarnya masih ada lagi peran mikro fauna (binatang-binatang kecil) yang juga berperan aktif dalam kesuburan tanah. Jadi pada dasarnya, di lahan pertanian, di samping harus ada tanah tempat tumbuhan menancapkan akarnya, diperlukan juga koloni kehidupan mikroorganisme di dalam tanah.
Tanah sangat kaya akan keragaman mikroorganisme, seperti bakteri, aktinomicetes, fungi, protozoa, alga, dan virus. Tanah pertanian yang subur mengandung
lebih dari 100 juta mikroba per gram tanah. Produktivitas dan daya dukung tanah
tergantung pada aktivitas mikroba tersebut. Sebagian besar mikroba tanah memiliki peranan yang menguntungkan bagi pertanian, yaitu berperan dalam menghancurkan limbah organik, recycling hara tanaman, fiksasi biologis nitrogen, pelarutan fosfat, merangsang pertumbuhan, biokontrol patogen, dan membantu penyerapan unsur hara. Organisme tanah mengubah bahan tanaman yang sudah mati menjadi nutrisi yang berharga.
Kompos sebagai pupuk utama dalam pertanian organik akan memberikan kontribusi yang jelas terhadap kesuburan, kegemburan tanah dan mensuplai jutaan mikroba ‘baik’ ke dalam tanah. Kompos juga akan memasukkan beberapa vitamin, hormon dan beberapa senyawa penting untuk kesuburan tanaman. Peran ini tidak kita dapatkan dari pupuk sintetis yang petani beli dari kios obat pertanian.
Masalah
Hal paling utama yang menjadi keengganan petani menggunakan pupuk kompos adalah masalah jumlahnya. Akan diperlukan jumlah pupuk kandang yang cukup banyak untuk mendapatkan nilai nutrisi yang mencukupi suatu luasan tertentu lahan pertanian. Sebagai contoh, petani sayur membutuhkan pupuk kandang sejumlah 5 sampai 7 ton per hektarnya untuk satu kali musim tanam (kira-kira 3 bulan). Dan ini akan diperlukan lagi sejumlah volume yang sama atau berkurang sedikit pada musim tanam selanjutnya. Demikian juga untuk lahan sawah dengan sistem ‘SRI’, minimal dibutuhkan 8 ton per hektar untuk satu musim tanam. Suatu volume yang cukup besar.
Kendala yang kemudian timbul adalah mengenai penyediaan bahannya, jumlah tenaga kerja yang menangani proses pemupukan, transportasi pupuk tersebut dari kandang (atau tempat pengepulan) sampai ke lahan pertanian dan timbulnya gulma pada lahan pertanian yang diakibatkan oleh terbawanya biji-bijian di dalam pupuk kandang tersebut. Hal ini menyebabkan biaya perawatan tanaman menjadi mahal yang ujung-ujungnya akan meningkatkan biaya produksi pertanian.
Besarnya volume pupuk kandang yang dibutuhkan untuk pemupukan, dikarenakan jumlah nutrisi yang terkandung di dalamnya (garam-garam mineral) terhitung kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan tanaman.
Sebenarnya dengan kemajuan teknologi pertanian dan bioteknologi, sekarang ini sudah bisa dibuat pupuk kandang yang efisien. Di Pusat Penelitian Bioteknologi ITB, penulis telah menemukan formula mikroorganisme yang mampu mempercepat sekaligus meningkatkan kualitas kompos. Dengan bantuan formula mikroorganisme ini proses fermentasi dan pengayaan unsur-unsur hara, efisiensi pupuk kandang dapat ditingkatkan. Sebagai hasilnya, penggunaannya tidak lagi harus dalam volume yang cukup besar. Dan yang lebih mengembirakan lagi, harga pupuk tersebut dapat ditekan pada tingkat harga yang terjangkau oleh petani.
Pupuk tersebut dapat diaplikasikan dengan dosis yang setara dengan pupuk kimia, dengan kelebihan-kelebihan pupuk organik yang tidak dapat diperoleh kalau menggunakan pupuk kimia.
Pada dasarnya penggunaan pupuk organik adalah suatu solusi tepat untuk mengatasi kejenuhan tanah. Hal lebih penting adalah petani tidak akan bergantung lagi dengan keberadaan dan harga pupuk kimia yang seringkali raib dari pasaran dan dengan harga yang terus merangkak naik. Kemandirian petani akan pupuk dapat menyelamatkan petani dari lilitan hutang dan jeratan ijon atau lintah darat yang keberadaanya makin marak. Kemandirian petani mutlak dibangun untuk mencapai kesejahteraan di pedesaan (****)
* Penulis adalah penggiat dan pemberdaya masyarakat tani padi organic ‘SRI’ dan praktisi pertanian organik.
Pondok Bunga Sariwangi III E-15 Rt. 01 Rw. 13, Desa Sariwangi-Parongpong Kab. Bandung Barat 40559 HP: 022 76467 522
Artikel ini telah dimuat di Kolom Cakrawala, Harian Pikiran Rakyat, Kamis, 14 Agustus 2008
Lebih dari 60% lahan sawah di pulau Jawa telah mengalami degradasi kesuburan tanah (fisika, kimia dan biologi) yang diindikasikan oleh rendahnya kandungan bahan organik (dibawah 1%). Dampak dari rendahnya kandungan bahan organik (BO) ini antara lain tanah menjadi keras dan liat sehingga sulit diolah, respon terhadap pemupukan rendah, tidak responsif terhadap unsur hara tertentu, tanah menjadi masam, penggunaan air irigasi menjadi tidak efisien serta produktivitas tanaman cenderung rendah dan semakin sulit untuk ditingkatkan.
Hal ini disebabkan karena cara-cara pengelolaan lahan sawah dan ladang yang kurang tepat, sehingga tanah semakin tandus sementara pemberian pupuk buatan yang terus menerus, bahan organik yang berupa jerami padi tidak dikembalikan ke lahan, tetapi dibuang atau dibakar, sehingga mengakibatkan lahan menjadi miskin akan unsur hara yang dibutuhkan tanaman serta memburuknya sifat fisik lahan.
Kondisi ini diperparah dengan pemakaian pestisida yang cenderung berlebihan dan tidak terkontrol, sehingga mengakibatkan keseimbangan alam terganggu, musuh alami hama menjadi punah akibatnya hama dan penyakit tanaman semakin tumbuh dan berkembang dengan pesat. Dampak lain yang tidak pernah disadari adanya residu pestisida pada hasil panen yang terus kita konsumsi.
Bahan kimia kini sudah over digunakan untuk keperluan pertanian, sehingga kondisi tanah petani yang digunakan bercocok tanam tak bertambah subur, tapi malah sebaliknya, tandus dan gersang. Pupuk an racun kimia saat ini sudah mengancam kelangsungan hidup makhluk hidup. Tak hanya manusia saja yang kena imbasnya, tapi makhluk hidup yang lain juga kena getahnya.
Hasil uji coba pupuk kimia dan pupuk organik, ternyata manfaatnya lebih banyak pupuk organik. Biaya produksinya lebih murah dibanding pupuk kimia, penggunaanmya lebih sederhana, harganya pun terjangkau bahkan cenderung gratis. Dan yang terpenting, pupuk organik dapat menjaga unsur hara di dalam tanah, sehingga terdapat keseimbangan.
Berdasarkan hal tersebut makin berkembang alasan untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia dan agar pembuatan pabrik-pabrik pupuk di dunia dikurangi atau dihentikan sama sekali agar manusia bisa terhindar dari malapetaka polusi. Upaya pembudidayaan tanaman dengan pertanian organik merupakan usaha untuk dapat mendapatkan bahan makanan tanpa penggunaan pupuk anorganik. Dengan sitem ini diharapkan tanaman dapat hidup tanpa ada masukan dari luar, sehingga dalam kehidupan tanaman terdapat suatu siklus hidup yang tertutup.
Pupuk Organik
Secara umum, pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari bahan-bahan organik yang dihancurkan dalam proses fermentasi. Sumber bahan baku organik ini dapat diperoleh dari bermacam-macam sumber seperti : kotoran ternak, sampah kota/ pasar, sampah rumah tangga non sintetis dan limbah-limbah pabrik makanan/minuman. Umumnya pupuk yang dibuat dari bahan-bahan ini dikenal dengan nama pupuk kompos.
Biasanya untuk membuat pupuk kompos ini, ditambahkan inokulum mikroba yang membantu mempercepat proses penghancuran (dekomposisi). Sebetulnya tanpa dibantupun, alam dengan sendirinya akan mendekomposisi bahan-bahan organik tersebut dengan bakteri yang ada di alam, beserta bantuan organisme renik lainnya.
Pupuk kompos mempunyai tingkat ikatan antar bahan yang sangat buruk jika kita bandingkan misalnya dengan tanah (liat). Gumpalan tanah yang tidak mengandung humus, sangatlah padat dan mudah sekali mengeras. Padahal dalam proses tumbuhnya, tumbuhan memerlukan tempat berpijak yang kokoh dan gembur. Di samping menyerap air dari dalam tanah, akar tanaman juga melakukan proses bernapas atau respirasi sama halnya dengan kita. Maka jika tanah tempat tumbuh tersebut adalah tanah yang keras dan mempunyai tingkat kepadatan tinggi, tidak terdapat celah yang menjadi tempat sirkulasi udara. Dengan diberikannya pupuk kompos di lahan pertanian, maka kompos akan bercampur dengan tanah untuk membentuk lapisan yang dikenal dengan humus, yaitu lapisan permukaan tanah yang kaya akan bahan organik. Struktur tanah akan menjadi gembur dan tidak bergumpal. Dalam tanah yang gembur, banyak terdapat celah yang dapat ditembus udara yang berarti sirkulasi udara di tanah menjadi lancar.
Ada satu hal lagi peran penting pupuk kompos yang belum begitu disadari oleh banyak orang. Di samping sebagai penggembur tanah, pupuk kompos juga sebagai media tempat hidup sejumlah besar bakteri (bioreaktor). Tanaman pada dasarnya menyerap makanan dari dalam tanah dalam bentuk ion-ion. Sebenarnya di dalam tanah sendiri (juga di dalam bahan organik lain) terdapat banyak unsur makanan yang diperlukan tanaman. Tetapi unsur makanan tersebut biasanya masih terikat dalam bentuk senyawa kompleks yang tidak dapat diserap langsung oleh tanaman. Senyawa kompleks tersebut harus diurai lagi agar pecah menjadi ion-ion yang dapat diserap oleh tanaman. Banyak bakteri yang hidup di dalam tanah dapat melakukan proses pemecahan senyawa kompleks tersebut dan mengubahnya menjadi ion-ion atau unsur makanan yang siap disantap oleh tanaman.
Mikroba tanah melakukan proses makan atas bahan organik dan bahan asli alam (seperti batu-batuan mineral) dalam aktivitas hidupnya. Ketika bahan organik dan bahan asli alam dimakan oleh bakteri, struktur senyawa kompleksnya pecah menjadi unsur-unsur yang lebih sederhana atau dalam bentuk ion yang dapat diserap oleh tanaman.
Satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya yang dihasilkan oleh mikroba adalah enzim-enzim dan hormon serta vitamin sebagai hasil sekresi dalam proses metabolisme di dalam tubuhnya.. Juga banyak penyakit tanaman yang bisa ditekan karena keberadaan mikroba di dalam tanah. Sebenarnya masih ada lagi peran mikro fauna (binatang-binatang kecil) yang juga berperan aktif dalam kesuburan tanah. Jadi pada dasarnya, di lahan pertanian, di samping harus ada tanah tempat tumbuhan menancapkan akarnya, diperlukan juga koloni kehidupan mikroorganisme di dalam tanah.
Tanah sangat kaya akan keragaman mikroorganisme, seperti bakteri, aktinomicetes, fungi, protozoa, alga, dan virus. Tanah pertanian yang subur mengandung
lebih dari 100 juta mikroba per gram tanah. Produktivitas dan daya dukung tanah
tergantung pada aktivitas mikroba tersebut. Sebagian besar mikroba tanah memiliki peranan yang menguntungkan bagi pertanian, yaitu berperan dalam menghancurkan limbah organik, recycling hara tanaman, fiksasi biologis nitrogen, pelarutan fosfat, merangsang pertumbuhan, biokontrol patogen, dan membantu penyerapan unsur hara. Organisme tanah mengubah bahan tanaman yang sudah mati menjadi nutrisi yang berharga.
Kompos sebagai pupuk utama dalam pertanian organik akan memberikan kontribusi yang jelas terhadap kesuburan, kegemburan tanah dan mensuplai jutaan mikroba ‘baik’ ke dalam tanah. Kompos juga akan memasukkan beberapa vitamin, hormon dan beberapa senyawa penting untuk kesuburan tanaman. Peran ini tidak kita dapatkan dari pupuk sintetis yang petani beli dari kios obat pertanian.
Masalah
Hal paling utama yang menjadi keengganan petani menggunakan pupuk kompos adalah masalah jumlahnya. Akan diperlukan jumlah pupuk kandang yang cukup banyak untuk mendapatkan nilai nutrisi yang mencukupi suatu luasan tertentu lahan pertanian. Sebagai contoh, petani sayur membutuhkan pupuk kandang sejumlah 5 sampai 7 ton per hektarnya untuk satu kali musim tanam (kira-kira 3 bulan). Dan ini akan diperlukan lagi sejumlah volume yang sama atau berkurang sedikit pada musim tanam selanjutnya. Demikian juga untuk lahan sawah dengan sistem ‘SRI’, minimal dibutuhkan 8 ton per hektar untuk satu musim tanam. Suatu volume yang cukup besar.
Kendala yang kemudian timbul adalah mengenai penyediaan bahannya, jumlah tenaga kerja yang menangani proses pemupukan, transportasi pupuk tersebut dari kandang (atau tempat pengepulan) sampai ke lahan pertanian dan timbulnya gulma pada lahan pertanian yang diakibatkan oleh terbawanya biji-bijian di dalam pupuk kandang tersebut. Hal ini menyebabkan biaya perawatan tanaman menjadi mahal yang ujung-ujungnya akan meningkatkan biaya produksi pertanian.
Besarnya volume pupuk kandang yang dibutuhkan untuk pemupukan, dikarenakan jumlah nutrisi yang terkandung di dalamnya (garam-garam mineral) terhitung kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan tanaman.
Sebenarnya dengan kemajuan teknologi pertanian dan bioteknologi, sekarang ini sudah bisa dibuat pupuk kandang yang efisien. Di Pusat Penelitian Bioteknologi ITB, penulis telah menemukan formula mikroorganisme yang mampu mempercepat sekaligus meningkatkan kualitas kompos. Dengan bantuan formula mikroorganisme ini proses fermentasi dan pengayaan unsur-unsur hara, efisiensi pupuk kandang dapat ditingkatkan. Sebagai hasilnya, penggunaannya tidak lagi harus dalam volume yang cukup besar. Dan yang lebih mengembirakan lagi, harga pupuk tersebut dapat ditekan pada tingkat harga yang terjangkau oleh petani.
Pupuk tersebut dapat diaplikasikan dengan dosis yang setara dengan pupuk kimia, dengan kelebihan-kelebihan pupuk organik yang tidak dapat diperoleh kalau menggunakan pupuk kimia.
Pada dasarnya penggunaan pupuk organik adalah suatu solusi tepat untuk mengatasi kejenuhan tanah. Hal lebih penting adalah petani tidak akan bergantung lagi dengan keberadaan dan harga pupuk kimia yang seringkali raib dari pasaran dan dengan harga yang terus merangkak naik. Kemandirian petani akan pupuk dapat menyelamatkan petani dari lilitan hutang dan jeratan ijon atau lintah darat yang keberadaanya makin marak. Kemandirian petani mutlak dibangun untuk mencapai kesejahteraan di pedesaan (****)
* Penulis adalah penggiat dan pemberdaya masyarakat tani padi organic ‘SRI’ dan praktisi pertanian organik.
Pondok Bunga Sariwangi III E-15 Rt. 01 Rw. 13, Desa Sariwangi-Parongpong Kab. Bandung Barat 40559 HP: 022 76467 522
Kamis, 17 Juli 2008
Tantangan baru di lokasi air limbah
Dari seorang teman aku mendapatkan sebuah lokasi yang menurutku unik, spesial dan menantang!!
Di sebuah pusat kota Bandung, di tengah-tengah padatnya perumahan penduduk di kota kembang ini, aku mendapatkan sepetak lahan sawah, yah, kira-kira 1,3 hektar milik pak Haji Aip di Binong, Kota Bandung.
Lokasi masuk dari Jl. Kiaracondong, kemudia masuk gang kecil, yaitu Jl. H. Basuki, kira-kira 2 km hamparan sawah itu kutemukan, tepatnya di depan SMP Negeri 34 bandung.
Tetangganya ada sebuah lokasi pusat kerajinan garmen. Nah, dari sini dihasilkan air limbah pencucian kain dari penduduk, kemudian dialirkan masuk ke sawah.
Dari air limbah hitam pekat dan berbau ini, padi sawah setiap hari meminumnya tanpa kuasa untuk menolaknya.
Menurut pak Wahyu, petani penggarap yang tinggal di lahan sawah mengatakan bahwa sejak 2 tahun terakhir lahan ini dijadaikan sawah yang sebelumnya berupa kolam ikan lele. "Setelah ada usaha garmen masyarakat, air sawah berubah menajdi air limbah, ikan jadi banyak yang mati. Kami mengalami banyak kerugian." Sungutnya sambil mengeluh pasrah.
Kini, setelah 3 minggu berjalan, alhamdulillah anak padi yang ditanam tunggal dan berumur muda, yaitu 10 hari telah tumbuh dengan baik. Beberapa ada yang mengalami kematian, karena cuaca yag cukup panas, sehingga beberapa daun ada yang mati. Beberapa lagi, aku amati terkena hama, berupa ulat kecil-kecil, sundep kata orang Kerawang mah. Tapi, secara keseluruhan, aku cukup optimis dengan pertumbuhannya.
Setiap minggu aku pasti datang ke lokasi sawah ini. Mengamati sekaligus memberikan instruksi untuk melakukan penyemprotan dengan pupuk organik hasil formulasiku, yaitu NUTRIGrow.
Nah, untuk pastinya, kita lihat saja hasilnya 2 bulan ke depan. Aku terus menunggu dengan gelisah dan was-was. Semoga hasilnya memuaskan, terutama untuk kesejahteraan Bapak Wahyu dan keluarga kecilnya.
Di sebuah pusat kota Bandung, di tengah-tengah padatnya perumahan penduduk di kota kembang ini, aku mendapatkan sepetak lahan sawah, yah, kira-kira 1,3 hektar milik pak Haji Aip di Binong, Kota Bandung.
Lokasi masuk dari Jl. Kiaracondong, kemudia masuk gang kecil, yaitu Jl. H. Basuki, kira-kira 2 km hamparan sawah itu kutemukan, tepatnya di depan SMP Negeri 34 bandung.
Tetangganya ada sebuah lokasi pusat kerajinan garmen. Nah, dari sini dihasilkan air limbah pencucian kain dari penduduk, kemudian dialirkan masuk ke sawah.
Dari air limbah hitam pekat dan berbau ini, padi sawah setiap hari meminumnya tanpa kuasa untuk menolaknya.
Menurut pak Wahyu, petani penggarap yang tinggal di lahan sawah mengatakan bahwa sejak 2 tahun terakhir lahan ini dijadaikan sawah yang sebelumnya berupa kolam ikan lele. "Setelah ada usaha garmen masyarakat, air sawah berubah menajdi air limbah, ikan jadi banyak yang mati. Kami mengalami banyak kerugian." Sungutnya sambil mengeluh pasrah.
Kini, setelah 3 minggu berjalan, alhamdulillah anak padi yang ditanam tunggal dan berumur muda, yaitu 10 hari telah tumbuh dengan baik. Beberapa ada yang mengalami kematian, karena cuaca yag cukup panas, sehingga beberapa daun ada yang mati. Beberapa lagi, aku amati terkena hama, berupa ulat kecil-kecil, sundep kata orang Kerawang mah. Tapi, secara keseluruhan, aku cukup optimis dengan pertumbuhannya.
Setiap minggu aku pasti datang ke lokasi sawah ini. Mengamati sekaligus memberikan instruksi untuk melakukan penyemprotan dengan pupuk organik hasil formulasiku, yaitu NUTRIGrow.
Nah, untuk pastinya, kita lihat saja hasilnya 2 bulan ke depan. Aku terus menunggu dengan gelisah dan was-was. Semoga hasilnya memuaskan, terutama untuk kesejahteraan Bapak Wahyu dan keluarga kecilnya.
SRI; Cara Seksama Menanam Padi Organik
Oleh Kabelan Kunia, MSi.
Cara seksama menanam padi dengan metode SRI, yaitu tidak menggenangi sawah dengan air, cukup dengan tanah yang macak-macak, karena menganggap padi bukanlah tanaman air. Tanah diolah dengan cara intensif dengan kedalaman pengolahan lahan mencapai 20 cm, dilakukan penambahan kompos 7-10 ton/hektar atau lebih dari setengah jumlah biomassa yang dikeluarkan dari lahan pertanian tersebut. Kompos dalam tanah mempunyai kemampuan untuk mengikat air selain mampu menyediakan ruang untuk udara, mikroorganisme, dan pertumbuhan akar. Kebutuhan air untuk cara bertani yang seksama ini hanya setengah hingga sepertiga dari cara konvensional, serta membuka peluang penerapan teknik baru penyiraman maupun pengaturan air lainnya.
Padi ditanam tunggal secara satu persatu dengan umur bibit 7-10 hari di pesemaian. Bibit padi yang masih memiliki keping biji ini ditanam dangkal dengan akar diletakkan mendatar di permukaan tanah, dimaksudkan terutama untuk mendapatkan peluang anakan yang paling banyak. Cara ini hanya memerlukan bibit padi unggul 5 - 7 kg/ha untuk jarak tanam 30 x 30 cm dibandingkan dengan cara konvensional yang bisa mencapai 30 kg/ha. Cara ini membuka peluang baru penerapan teknik penyemaian, penanaman dan penetapan jarak tanaman dengan sasaran mengembangkan sistem perakaran dan jumlah anakan yang maksimal. Jarak tanam yang renggang mengoptimalkan pertumbuhan anakan dan sangat memudahkan pekerjaan pemeliharaan tanah.
Cara seksama menanam padi dengan melakukan penyiangan lebih dari 4x dari hanya 2x pada cara konvensional. Penyiangan ini dimaksudkan bukan saja untuk menghilangkan gulma tetapi terutama untuk menjaga pasokan udara ke dalam tanah. Pengurangan 1x penyiangan dapat menurunkan produksi padi hingga 1,2-1,5 ton/ha.
Metode SRI dapat menekan gangguan hama secara sangat berarti tanpa harus menggunakan bahan kimia antihama. Banyak jenis serangga yang hidup bersama dengan tumbuhnya tanaman padi, namun mereka tidak sempat menjadi hama karena dengan cara seksama kondisi mikroklimatnya tidak memberi cukup waktu kepada serangga untuk dapat berkembangbiak secara leluasa. Serangan keong pun dapat ditekan karena tanah tidak direndam. Pada dasarnya keong hidup dan berjalan dengan mediasi air. Ketika air di sawah kurang atau tergenang, maka keong tidak leluasa mengacak-ngacak tanaman padi. Begitupula dengan tikus. Tikus memakan hewan-hewan kecil, termasuk keoang. Ketika keong tidak ada di sawah, maka tikus pun enggan ’bermain’ di sawah, karena tidak mendapatkan makanan yang cocok. Adapun batang padi diganggu oleh tikus, itu lebih kepada cara tikus untuk mengasah gigi sebelum dan sesudah memekan keong atau hewan ke cil di sawah. Jadi, tikus bukan pemakan batang padi, hanya penggerek/ batang untuk mengasah gigi.
Penanaman padi dengan metode SRI dapat meningkatkan produktivitas secara nyata, yang ditunjukkan pada ujicoba pertama di berbagai daerah (Garut, Cianjur, Tasik, Ciamis, Bekasi, Sukabumi, Bandung dan Subang) mencapai 9-12 ton/ha dari biasanya 4-6 ton/ha. Ujicoba di Garut menunjukkan peningkatan produksi secara berturutan mulai dari 9,4 ton/ha, 11 ton/ha, 14 ton/ha, hingga terakhir dapat mencapai 17,5 ton/ha. Cara SRI juga meningkatkan kualitas bulir padi, dengan penambahan produksi beras kepala, memelihara rasa yang lebih baik, dan tahan penyimpanan lebih lama.
Metode penanaman padi SRI juga memerlukan pengolahan lahan yang seksama. Penggunaan kompos dalam jumlah dan kualitas yang memadai sangat menentukan. Para petani dapat menyiapkan kompos yang diperlukan secara mandiri dengan mengefektifkan waktu luang dan sumber biomasa setempat seperti tanaman kirinyuh, batang pisang, guguran daun, dan sampah organik yang sudah terpilah bersih dari sampah non-organik. Satu hektar sawah biasanya menyisakan sekitar 8 ton jerami dan 3 ton sekam, dalam hal ini memerlukan tambahan biomassa sekitar 5-7 ton kompos. Proses pengomposan dilakukan secara aerobik dengan memberikan pengudaraan yang baik pada tumpukan rajangan bahan pembuat kompos. Tumpukan tersebut secara berkala disirami dengan campuran mikroorganisme lokal yang berasal dari buangan dapur atau dari kandang ternak setempat. Aplikasi kompos dilakukan sekali pada saat pengolahan awal tanah, dengan rujukan tidak untuk menggantikan pupuk, melainkan untuk membentuk kembali struktur tanah sehingga bisa berfungsi sebagai bioreaktor yang akan menggerakkan kembali siklus nutrisi dengan peran utama mikrorganismenya serta biota tanah lainnya.
Selamat mencoba....
Cara seksama menanam padi dengan metode SRI, yaitu tidak menggenangi sawah dengan air, cukup dengan tanah yang macak-macak, karena menganggap padi bukanlah tanaman air. Tanah diolah dengan cara intensif dengan kedalaman pengolahan lahan mencapai 20 cm, dilakukan penambahan kompos 7-10 ton/hektar atau lebih dari setengah jumlah biomassa yang dikeluarkan dari lahan pertanian tersebut. Kompos dalam tanah mempunyai kemampuan untuk mengikat air selain mampu menyediakan ruang untuk udara, mikroorganisme, dan pertumbuhan akar. Kebutuhan air untuk cara bertani yang seksama ini hanya setengah hingga sepertiga dari cara konvensional, serta membuka peluang penerapan teknik baru penyiraman maupun pengaturan air lainnya.
Padi ditanam tunggal secara satu persatu dengan umur bibit 7-10 hari di pesemaian. Bibit padi yang masih memiliki keping biji ini ditanam dangkal dengan akar diletakkan mendatar di permukaan tanah, dimaksudkan terutama untuk mendapatkan peluang anakan yang paling banyak. Cara ini hanya memerlukan bibit padi unggul 5 - 7 kg/ha untuk jarak tanam 30 x 30 cm dibandingkan dengan cara konvensional yang bisa mencapai 30 kg/ha. Cara ini membuka peluang baru penerapan teknik penyemaian, penanaman dan penetapan jarak tanaman dengan sasaran mengembangkan sistem perakaran dan jumlah anakan yang maksimal. Jarak tanam yang renggang mengoptimalkan pertumbuhan anakan dan sangat memudahkan pekerjaan pemeliharaan tanah.
Cara seksama menanam padi dengan melakukan penyiangan lebih dari 4x dari hanya 2x pada cara konvensional. Penyiangan ini dimaksudkan bukan saja untuk menghilangkan gulma tetapi terutama untuk menjaga pasokan udara ke dalam tanah. Pengurangan 1x penyiangan dapat menurunkan produksi padi hingga 1,2-1,5 ton/ha.
Metode SRI dapat menekan gangguan hama secara sangat berarti tanpa harus menggunakan bahan kimia antihama. Banyak jenis serangga yang hidup bersama dengan tumbuhnya tanaman padi, namun mereka tidak sempat menjadi hama karena dengan cara seksama kondisi mikroklimatnya tidak memberi cukup waktu kepada serangga untuk dapat berkembangbiak secara leluasa. Serangan keong pun dapat ditekan karena tanah tidak direndam. Pada dasarnya keong hidup dan berjalan dengan mediasi air. Ketika air di sawah kurang atau tergenang, maka keong tidak leluasa mengacak-ngacak tanaman padi. Begitupula dengan tikus. Tikus memakan hewan-hewan kecil, termasuk keoang. Ketika keong tidak ada di sawah, maka tikus pun enggan ’bermain’ di sawah, karena tidak mendapatkan makanan yang cocok. Adapun batang padi diganggu oleh tikus, itu lebih kepada cara tikus untuk mengasah gigi sebelum dan sesudah memekan keong atau hewan ke cil di sawah. Jadi, tikus bukan pemakan batang padi, hanya penggerek/ batang untuk mengasah gigi.
Penanaman padi dengan metode SRI dapat meningkatkan produktivitas secara nyata, yang ditunjukkan pada ujicoba pertama di berbagai daerah (Garut, Cianjur, Tasik, Ciamis, Bekasi, Sukabumi, Bandung dan Subang) mencapai 9-12 ton/ha dari biasanya 4-6 ton/ha. Ujicoba di Garut menunjukkan peningkatan produksi secara berturutan mulai dari 9,4 ton/ha, 11 ton/ha, 14 ton/ha, hingga terakhir dapat mencapai 17,5 ton/ha. Cara SRI juga meningkatkan kualitas bulir padi, dengan penambahan produksi beras kepala, memelihara rasa yang lebih baik, dan tahan penyimpanan lebih lama.
Metode penanaman padi SRI juga memerlukan pengolahan lahan yang seksama. Penggunaan kompos dalam jumlah dan kualitas yang memadai sangat menentukan. Para petani dapat menyiapkan kompos yang diperlukan secara mandiri dengan mengefektifkan waktu luang dan sumber biomasa setempat seperti tanaman kirinyuh, batang pisang, guguran daun, dan sampah organik yang sudah terpilah bersih dari sampah non-organik. Satu hektar sawah biasanya menyisakan sekitar 8 ton jerami dan 3 ton sekam, dalam hal ini memerlukan tambahan biomassa sekitar 5-7 ton kompos. Proses pengomposan dilakukan secara aerobik dengan memberikan pengudaraan yang baik pada tumpukan rajangan bahan pembuat kompos. Tumpukan tersebut secara berkala disirami dengan campuran mikroorganisme lokal yang berasal dari buangan dapur atau dari kandang ternak setempat. Aplikasi kompos dilakukan sekali pada saat pengolahan awal tanah, dengan rujukan tidak untuk menggantikan pupuk, melainkan untuk membentuk kembali struktur tanah sehingga bisa berfungsi sebagai bioreaktor yang akan menggerakkan kembali siklus nutrisi dengan peran utama mikrorganismenya serta biota tanah lainnya.
Selamat mencoba....
Kamis, 05 Juni 2008
Membangun Pertanian Organik di Indonesia
Oleh Kabelan Kunia, M.Si.
Memasuki abad ke-21 banyak keluhan-keluhan masyarakat utamanya masyarakat menengah ke atas tentang berbagai penyakit seperti stroke, penyempitan pembuluh darah, pengapuran, diabetes, ginjal dan lain-lain. Hal ini disebabkan pola dan jenis makanan yang salah. Banyak sekali bahan makanan yang diolah dengan berbagai tambahan bahan kimia. Di samping itu budaya petani yang menggunakan pestisida kimia dengan frekuensi dan dosis berlebih akan menghasilkan pangan yang meracuni tubuh konsumen. Adanya logam-logam berat yang terkandung di dalam pestisida kimia akan masuk ke dalam aliran darah. Bahkan makan sayur yang dulu selalu dianggap menyehatkan, kini juga harus diwaspadai karena sayuran banyak disemprot pestisida kimia secara berlebihan.
Peluang Indonesia menjadi produsen pangan organik dunia, cukup besar. Di samping memiliki 20% lahan pertanian tropik, plasma nutfah yang sangat beragam, ketersediaan bahan organik juga cukup banyak. Namun menurut IFOAM (International Federation of Organik Agricultural Movement) Indonesia baru memanfaatkan 40.000 ha (0.09%) lahan pertaniannya untuk pertanian organik, sehingga masih diperlukan berbagai program yang saling sinergis untuk menghantarkan Indonesia sebagai salah satu negara produsen organik terkemuka.
Indonesia yang beriklim tropis, merupakan modal SDA yang luar biasa dimana aneka sayuran, buah dan tanaman pangan hingga aneka bunga dapat dibudidayakan sepanjang tahun.
Petanian Organik adalah sebuah bentuk solusi baru guna menghadapi kebuntuan yang dihadapi petani sehubungan dengan maraknya intervensi barang-barang sintetis atas dunia pertanian sekarang ini. Dapat kita saksikan, mulai dari pupuk, insektisida, perangsang tumbuh, semuanya telah dibuat dari bahan-bahan yang disintesis dari senyawa-senyawa murni (anorganik) di laboratorium.
Kita tahu di negara lain, khususnya di negara-negara Eropa, Amerika Latin, dan Ameriak Serikat pertanian organik merupakan sektor pangan yang paling cepat pertumbuhannya. Laju pertumbuhan penjualan pangan organik berkisar dari 20-25% pertahun selama dekade terakhir ini.
Memasuki abad ke-21 banyak keluhan-keluhan masyarakat utamanya masyarakat menengah ke atas tentang berbagai penyakit seperti stroke, penyempitan pembuluh darah, pengapuran, diabetes, ginjal dan lain-lain. Hal ini disebabkan pola dan jenis makanan yang salah. Banyak sekali bahan makanan yang diolah dengan berbagai tambahan bahan kimia. Di samping itu budaya petani yang menggunakan pestisida kimia dengan frekuensi dan dosis berlebih akan menghasilkan pangan yang meracuni tubuh konsumen. Adanya logam-logam berat yang terkandung di dalam pestisida kimia akan masuk ke dalam aliran darah. Bahkan makan sayur yang dulu selalu dianggap menyehatkan, kini juga harus diwaspadai karena sayuran banyak disemprot pestisida kimia secara berlebihan.
Peluang Indonesia menjadi produsen pangan organik dunia, cukup besar. Di samping memiliki 20% lahan pertanian tropik, plasma nutfah yang sangat beragam, ketersediaan bahan organik juga cukup banyak. Namun menurut IFOAM (International Federation of Organik Agricultural Movement) Indonesia baru memanfaatkan 40.000 ha (0.09%) lahan pertaniannya untuk pertanian organik, sehingga masih diperlukan berbagai program yang saling sinergis untuk menghantarkan Indonesia sebagai salah satu negara produsen organik terkemuka.
Indonesia yang beriklim tropis, merupakan modal SDA yang luar biasa dimana aneka sayuran, buah dan tanaman pangan hingga aneka bunga dapat dibudidayakan sepanjang tahun.
Petanian Organik adalah sebuah bentuk solusi baru guna menghadapi kebuntuan yang dihadapi petani sehubungan dengan maraknya intervensi barang-barang sintetis atas dunia pertanian sekarang ini. Dapat kita saksikan, mulai dari pupuk, insektisida, perangsang tumbuh, semuanya telah dibuat dari bahan-bahan yang disintesis dari senyawa-senyawa murni (anorganik) di laboratorium.
Kita tahu di negara lain, khususnya di negara-negara Eropa, Amerika Latin, dan Ameriak Serikat pertanian organik merupakan sektor pangan yang paling cepat pertumbuhannya. Laju pertumbuhan penjualan pangan organik berkisar dari 20-25% pertahun selama dekade terakhir ini.
Selasa, 03 Juni 2008
SRI : System of Rice Intensificasion
Sistem Intensifikasi Padi ‘SRI’ (System of Rice intensificasion)
Oleh : Kabelan Kunia, M.Si.
Baru-baru ini kami telah mempelajari dan mengembangkan suatu metode penanaman padi yang mampu memberikan hasil panen yang jauh lebih tinggi dengan pemakaian bibit dan input yang lebih sedikit dari pada metode tradisional atau dengan metode yang lebih modern (pemakaian pupuk dan asupan kimiawi lain). Metode ini mengembangkan teknik manajemen yang berbeda atas tanaman, tanah, air dan nutrisi. Sistem intensifikasi padi ini telah terbukti sukses diterapkan di sejumlah Negara.
Apakah SRI itu?
SRI mengembangkan praktek pengelolaan padi yang memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih baik, terutama di zona perakaran, dibandingkan dengan teknik budidaya cara tradisional. SRI dikembangkan di Madagaskar awal tahun 1980 oleh Henri de Lauline, seorang pastor Jesuit yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana.
Tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. SRI telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka dan Bangladesh dengan hasil yang positif.
Hasil metode SRI sangat memuaskan dari segi produktivitas. Di lahan ujicoba kami di Desa Sindangsari, Ciranjang pada tanah kurang subur dimana produksi normalnya hanya 4 ton/ha, petani yang menggunakan SRI memperoleh hasil panen lebih dari 8 ton/ha. Di beberapa tempat bahkan petani memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha.
Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode varietas padi lain yang pernah ditanam. Petani tidak harus menggunakan input luar untuk memperoleh manfaat SRI. Metode ini juga bisa diterapkan untuk berbagai varietas yang biasa dipakai petani. Hanya saja, diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima metode baru dan kemauan untuk bereksperimen. Dalam SRI, tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, bukan diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Semua unsur potensi dalam tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhan mereka.
Kabelan Kunia, M.Si.
Pusat Penelitian Bioteknologi
Institut Teknologi Bandung
Gedung Aplikasi dan Integrasi Lt. 5
Jl. Ganesa 10 Bandung 40132
Telp : 022 2504987 ext. 1665
E-mail : kabelan@biotech.itb.ac.id
HP : 022 76467522
Website : http://kuniaorganic.blogspot.com
Oleh : Kabelan Kunia, M.Si.
Baru-baru ini kami telah mempelajari dan mengembangkan suatu metode penanaman padi yang mampu memberikan hasil panen yang jauh lebih tinggi dengan pemakaian bibit dan input yang lebih sedikit dari pada metode tradisional atau dengan metode yang lebih modern (pemakaian pupuk dan asupan kimiawi lain). Metode ini mengembangkan teknik manajemen yang berbeda atas tanaman, tanah, air dan nutrisi. Sistem intensifikasi padi ini telah terbukti sukses diterapkan di sejumlah Negara.
Apakah SRI itu?
SRI mengembangkan praktek pengelolaan padi yang memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih baik, terutama di zona perakaran, dibandingkan dengan teknik budidaya cara tradisional. SRI dikembangkan di Madagaskar awal tahun 1980 oleh Henri de Lauline, seorang pastor Jesuit yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana.
Tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. SRI telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka dan Bangladesh dengan hasil yang positif.
Hasil metode SRI sangat memuaskan dari segi produktivitas. Di lahan ujicoba kami di Desa Sindangsari, Ciranjang pada tanah kurang subur dimana produksi normalnya hanya 4 ton/ha, petani yang menggunakan SRI memperoleh hasil panen lebih dari 8 ton/ha. Di beberapa tempat bahkan petani memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha.
Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode varietas padi lain yang pernah ditanam. Petani tidak harus menggunakan input luar untuk memperoleh manfaat SRI. Metode ini juga bisa diterapkan untuk berbagai varietas yang biasa dipakai petani. Hanya saja, diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima metode baru dan kemauan untuk bereksperimen. Dalam SRI, tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, bukan diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Semua unsur potensi dalam tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhan mereka.
Kabelan Kunia, M.Si.
Pusat Penelitian Bioteknologi
Institut Teknologi Bandung
Gedung Aplikasi dan Integrasi Lt. 5
Jl. Ganesa 10 Bandung 40132
Telp : 022 2504987 ext. 1665
E-mail : kabelan@biotech.itb.ac.id
HP : 022 76467522
Website : http://kuniaorganic.blogspot.com
SRI : Meningkatkan Produksi Padi Nasional
Oleh Kabelan Kunia, M.Si.
Lebih dari 60% lahan sawah di pulau Jawa telah mengalami degradasi kesuburan tanah (fisika, kimia dan biologi) yang diindikasikan oleh rendahnya kandungan bahan organik (dibawah 1%). Dampak dari rendahnya kandungan bahan organik (BO) ini antara lain tanah menjadi keras dan liat sehingga sulit diolah, respon terhadap pemupukan rendah, tidak responsif terhadap unsur hara tertentu, tanah menjadi masam, penggunaan air irigasi menjadi tidak efisien serta produktivitas tanaman cenderung rendah dan semakin sulit untuk ditingkatkan. Hal ini disebabkan oleh kesuburan tanah yang semakin menurun karena cara-cara pengelolaan lahan sawah yang kurang tepat, sehingga sawah semakin tandus sementara pemberian pupuk buatan yang terus menerus, bahan organik yang berupa jerami padi tidak dikembalikan ke lahan, tetapi dibuang atau dibakar, sehingga mengakibatkan lahan sawah menjadi miskin beberapa unsur hara yang dibutuhkan tanaman serta memburuknya sifat fisik lahan.
Pemakaian pestisida misalnya yang cenderung berlebihan dan tidak terkontrol mengakibatkan; keseimbangan alam terganggu, musuh alami hama menjadi punah, sehingga hama dan penyakit tanaman semakin tumbuh dan berkembang dengan pesat, dan adanya residu pestisida pada hasil panen
Dari aspek pengelolaan air, usahatani sawah pada umumnya dilakukan dengan penggenangan secara terus menerus, di lain pihak kesediaan air semakin terbatas. Untuk itu diperlukan peningkatan efisiensi penggunaan air melalui usahatani hemat air.
Teknik budidaya padi SRI (System of Rice Intensification) adalah metoda yang sangat tepat untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut di atas. Bahkan tak kurang Bapak Presiden SBY dalam amanatnya pada panen perdana padi organik ’SRI’ di Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur Jawa Barat, 30 Juli 2007 lalu mengajak kalangan petani, perbankan, pengusaha, dan pemangku kepentingan di bidang pertanian untuk terlibat mengembangkan metode penanaman padi dengan pola intensifikasi ini secara luas. Pengembangan tanam padi dengan metode SRI, kata Presiden adalah contoh nyata mengoreksi gerakan revolusi hijau, yaitu upaya meningkatkan produksi padi yang bertumpu pada pupuk kimia. Dengan SRI, menurut presiden peningkatan produksi padi untuk mendorong peningkatan kesejahteraan petani tercapai, masalah ketahanan pangan dapat diselesaikan, tetapi caranya tanpa merusak lingkungan. Metode SRI merupakan teknologi usaha tani padi sawah ramah lingkungan, efisiensi input melalui pemberdayaan petani dan kearifan lokal.
Paling tidak ada 4 (empat) alasan utama perlunya dikembangkannya SRI menurut Menteri Pertanian Anton Apriantono, yaitu :
Pertama, sudah terbukti bahwa metoda SRI mampu menghasilkan produktivitas padi yang tinggi diatas rata-rata nasional, yang pada gilirannya akan memberikan pendapatan yang cukup tinggi bagi petani. Metoda ini diharapkan dapat memotivasi petani untuk dapat mempertahankan dan melestarikan usahatani sawahnya dari ancaman alih fungsi lahan.
Kedua, sudah terbukti bahwa metoda SRI dapat menghemat penggunaan air sampai 40 %. Ketika defisit air terjadi dimana mana yang terkadang dapat menimbulkan konflik sosial, konsep SRI menjadi solusi ampuh untuk keluar dari situasi krisis ini. Penggunaan bibit juga dapat dihemat sampai 80 %, sehingga dapat mengurangi biaya usaha tani.
Ketiga, metode SRI mampu memulihkan kesuburan lahan dan mampu memelihara keberlanjutan produktivitas lahan.
Keempat , metode SRI dikenal ramah lingkungan karena : a) Memitigasi terjadinya polusi asap akibat berkurangnya pembakaran jerami sehingga mampu menekan emisi gas CO2, b) Memitigasi emisi gas Methan yang dihasilkan oleh proses reduksi (anaerob) akibat penggenangan sawah, c) Mitigasi emisi CO2 dan Methan (CH4) akan menekan produksi GRK (Gas Rumah Kaca) yang dapat memicu pemanasan global, d) Daur ulang limbah (sampah) menjadi prinsip SRI, sehingga penumpukan sampah dapat dihindari, e) Aplikasi bahan kimia (agrochemical) sangat dibatasi, kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan akibat kontaminasi dengan bahan dan residu kimia dapat dicegah, dan f) Produk beras SRI dapat digolongkan sehat, karena tidak diproduksi dengan pupuk kimia dan pestisida sintetis.
* Penulis adalah penggiat dan praktisi pertanian padi organik 'SRI'.
Lebih dari 60% lahan sawah di pulau Jawa telah mengalami degradasi kesuburan tanah (fisika, kimia dan biologi) yang diindikasikan oleh rendahnya kandungan bahan organik (dibawah 1%). Dampak dari rendahnya kandungan bahan organik (BO) ini antara lain tanah menjadi keras dan liat sehingga sulit diolah, respon terhadap pemupukan rendah, tidak responsif terhadap unsur hara tertentu, tanah menjadi masam, penggunaan air irigasi menjadi tidak efisien serta produktivitas tanaman cenderung rendah dan semakin sulit untuk ditingkatkan. Hal ini disebabkan oleh kesuburan tanah yang semakin menurun karena cara-cara pengelolaan lahan sawah yang kurang tepat, sehingga sawah semakin tandus sementara pemberian pupuk buatan yang terus menerus, bahan organik yang berupa jerami padi tidak dikembalikan ke lahan, tetapi dibuang atau dibakar, sehingga mengakibatkan lahan sawah menjadi miskin beberapa unsur hara yang dibutuhkan tanaman serta memburuknya sifat fisik lahan.
Pemakaian pestisida misalnya yang cenderung berlebihan dan tidak terkontrol mengakibatkan; keseimbangan alam terganggu, musuh alami hama menjadi punah, sehingga hama dan penyakit tanaman semakin tumbuh dan berkembang dengan pesat, dan adanya residu pestisida pada hasil panen
Dari aspek pengelolaan air, usahatani sawah pada umumnya dilakukan dengan penggenangan secara terus menerus, di lain pihak kesediaan air semakin terbatas. Untuk itu diperlukan peningkatan efisiensi penggunaan air melalui usahatani hemat air.
Teknik budidaya padi SRI (System of Rice Intensification) adalah metoda yang sangat tepat untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut di atas. Bahkan tak kurang Bapak Presiden SBY dalam amanatnya pada panen perdana padi organik ’SRI’ di Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur Jawa Barat, 30 Juli 2007 lalu mengajak kalangan petani, perbankan, pengusaha, dan pemangku kepentingan di bidang pertanian untuk terlibat mengembangkan metode penanaman padi dengan pola intensifikasi ini secara luas. Pengembangan tanam padi dengan metode SRI, kata Presiden adalah contoh nyata mengoreksi gerakan revolusi hijau, yaitu upaya meningkatkan produksi padi yang bertumpu pada pupuk kimia. Dengan SRI, menurut presiden peningkatan produksi padi untuk mendorong peningkatan kesejahteraan petani tercapai, masalah ketahanan pangan dapat diselesaikan, tetapi caranya tanpa merusak lingkungan. Metode SRI merupakan teknologi usaha tani padi sawah ramah lingkungan, efisiensi input melalui pemberdayaan petani dan kearifan lokal.
Paling tidak ada 4 (empat) alasan utama perlunya dikembangkannya SRI menurut Menteri Pertanian Anton Apriantono, yaitu :
Pertama, sudah terbukti bahwa metoda SRI mampu menghasilkan produktivitas padi yang tinggi diatas rata-rata nasional, yang pada gilirannya akan memberikan pendapatan yang cukup tinggi bagi petani. Metoda ini diharapkan dapat memotivasi petani untuk dapat mempertahankan dan melestarikan usahatani sawahnya dari ancaman alih fungsi lahan.
Kedua, sudah terbukti bahwa metoda SRI dapat menghemat penggunaan air sampai 40 %. Ketika defisit air terjadi dimana mana yang terkadang dapat menimbulkan konflik sosial, konsep SRI menjadi solusi ampuh untuk keluar dari situasi krisis ini. Penggunaan bibit juga dapat dihemat sampai 80 %, sehingga dapat mengurangi biaya usaha tani.
Ketiga, metode SRI mampu memulihkan kesuburan lahan dan mampu memelihara keberlanjutan produktivitas lahan.
Keempat , metode SRI dikenal ramah lingkungan karena : a) Memitigasi terjadinya polusi asap akibat berkurangnya pembakaran jerami sehingga mampu menekan emisi gas CO2, b) Memitigasi emisi gas Methan yang dihasilkan oleh proses reduksi (anaerob) akibat penggenangan sawah, c) Mitigasi emisi CO2 dan Methan (CH4) akan menekan produksi GRK (Gas Rumah Kaca) yang dapat memicu pemanasan global, d) Daur ulang limbah (sampah) menjadi prinsip SRI, sehingga penumpukan sampah dapat dihindari, e) Aplikasi bahan kimia (agrochemical) sangat dibatasi, kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan akibat kontaminasi dengan bahan dan residu kimia dapat dicegah, dan f) Produk beras SRI dapat digolongkan sehat, karena tidak diproduksi dengan pupuk kimia dan pestisida sintetis.
* Penulis adalah penggiat dan praktisi pertanian padi organik 'SRI'.
Langganan:
Postingan (Atom)